pemerintahan Republik Indonesia, dalam perdebatan itu, Bung Karno menginginkan Negara Kesatuan (unitaris) dengan pertimbangan persatuan dan kesatuan bangsa.
Menjelang Indonesia merdeka, Bung Karno dan Bung Hatta sempat memperdebatkan tentang konsep negara atau sistemSedangkan Bung Hatta menginginkan Negara Federal (federalis) dengan pertimbangan melihat negara-negara besar waktu itu seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Namun, karena Bung Hatta adalah sosok negarawan sejati, beliau tetap tunduk dan mengikuti suara terbanyak bahwa konsep negara Indonesia yang dipilih adalah Negara Kesatuan.Â
Sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merdeka pada 17 Agutus Tahun 1945, sistem pemerintahan di Indonesia masih terpusat, segala urusan pemerintahan dikelola dan diurus oleh pemerintah pusat.
A. Sejarah Lahirnya UU Otonomi Daerah dan UU Desa
Tiga tahun pasca kemerdekaan, Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah lahir, sentralisasi berubah menjadi desentralisasi, konsep Bung Karno tetap digunakan karena masih berbentuk Negara Kesatuan, dan Konsep Bung Hatta meskipun tidak menggunakan istilah Negara Federal, namun secara pengertian dan penerapan sangatlah sesuai. Pada tanggal 10 Juli 1948, Presiden Republik Indonesia Ir. Sukarno atas persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat menerbitkan UU No. 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, UU tersebut memiliki tujuan untuk setiap daerah diberi kewenangan dalam mengatur dan mengelola dengan asas otonomi.
Pada tahun 1957, tepatnya pada 17 Januari, kali ini Presiden Ir. Sukarno bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencabut UU No. 22 Tahun 1948 dan menetapkan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Belum sampai pada dasawarsa, 1 September 1965, Presiden Ir. Sukarno mendengar Presidium Kabinet Republik Indonesia dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mencabut (UU No. 1 Tahun 1957) dan semua peraturan perundang-undangan lainnya tentang kedesaan, dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah.
Setelah itu terbitlah UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, tercatat tiga kali perubahan UU tentang otonomi daerah di Indonesia di masa kepemimpinan Presiden Ir. Sukarno. Pada masa peralihan kepemimpinan dari Sukarno (orde lama) ke Suharto (orde baru), pada tanggal 23 Juli 1974 Presiden Suharto menetapkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah untuk pertama kalinya di masa kepemimpinannya.
Pasca lima tahun undang-undang itu terbentuk, di akhir tahun 1979 bertepatan pada tanggal 1 Desember, Presiden Suharto kembali menerbitkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), dimana UU No. 5 Tahun 1974 masih menjadi pertimbangan dalam UU No. 5 Tahun 1979. 21 Mei 1998 reformasi terjadi di Indonesia, Presiden Suharto turun dari jabatan presiden dan digantikan oleh B.J. Habibie. Di era reformasi, kran demokrasi, desentralisasi dan dekonsentrasi lebih leluasa dijalankan dibandingkan dengan orde lama dan orde baru.
Mendekati satu tahun reformasi, 7 Mei 1999 Presiden B.J. Habibie bersama DPR RI mencabut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa karena sudah tidak sesuai dengan UUD 1945, kemudian terbit UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, setelah lima tahun undang-undang ini berjalan, pada tanggal 15 Oktober 2004, Presiden Megawati bersama DPR RI mengganti UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, serta ketatanegaraan yang ada di Indonesia.
15 Januari 2014 menjadi hari bersejarah bagi lahirnya UU Desa, meskipun sebelumnya pada tahun 1965 ada UU tentang Desapraja, dan tahun 1979 UU tentang Pemerintahan Desa, ditambah lagi saat Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar yang akrab disapa Gus Menteri, pada 15 Januari 2021 ia merayakan tujuh tahun lahirnya UU Desa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama DPR RI menerbitkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Setelah delapan bulan UU Desa berjalan, 30 September 2014 Presiden SBY bersama DPR RI mengganti UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan menggantinya dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuh tahun lahirnya UU tentang Desa, dan UU tentang Pemeritahan Daerah yang juga hampir menginjak 7 tahun, Daerah yang terbagi di antara provinsi, kabupaten dan kota sudah menjalankan hak otonomi secara penuh dan mandiri, sedangkan desa sendiri hak otonomi tidak sepenuhnya dapat dijalankan dalam mengatur dan mengelola sistem pemerintahan.
B. Perbandingan Lembaga yang Ada di Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) dan Desa
Perbandingan lembaga daerah dan desa disini difokuskan pada lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga penyelenggara maupun pengawas pemilu. Di tingkat daerah provinsi, kabupaten, dan kota dalam ranah eksekutif, kepala daerah atau pemimpin di daerah berpasangan atau dipimpin dua orang, antara Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Sedangkan di tingkat Desa, pemimpinnya hanya seorang saja yaitu Kepala Desa.
Masih di ranah eksekutif, di daerah setiap bidang ada lembaganya tersendiri, dinas atau badan yang membantu pelaksanaan pemerintahan. Di desa hanya dibantu oleh Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) serta lembaga lainnya yang tidak memiliki tugas dan wewenang di bidang tertentu, hanya di bidang kesehatan yang memiliki lembaga spesifik seperti Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa, Pondok Bersalin Desa (Polindes), dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Bagaimana dengan bidang-bidang yang lain?
Di ranah legislatif, lembaga pengawas seperti DPRD dapat berjalan dengan maksimal dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi pengawasan, penganggaran dan pembuatan peraturan perundang-undangan. Di desa, lembaga pengawas seperti DPRD sebenarnya sudah ada yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tetapi tidak semua desa bisa menerapkannya, kalau pun ada fungsi pengawasan dan semacamnya tidak maksimal, selain karena kewenangannya terbatas dan anggotanya sedikit, BPD beserta anggotanya berasal dari satu keluarga, sehingga tugas dan fungsinya dikalahkan oleh kekuatan ikatan darah yang menyebabkan bekerja tidak profesional.
Lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu di daerah sudah ada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sehingga ketika melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilaksanakan di tingkat provinsi tidak menunggu keputusan pemerintah pusat, yang di kabupaten dan kota juga tidak menunggu pemerintah provinsi, semuanya dikembalikan kepada penyelenggara pemilu setempat (KPU). Di desa sendiri penyelenggaraan pemilihan kepala desa (Pilkades) tidak memiliki lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU di daerah, diadakan Pilkades atau tidak tergantung pada kewenangan dan selera Bupati.
C. Optimalisasi Lembaga yang Ada, Penambahan Struktural Baru, dan Pembentukan Lembaga Baru di Desa
Optimalisasi lembaga yang ada di desa seperti LKD, LPMD, Polindes, Pustu dan Posyandu. Semua lembaga tersebut kehadirannya tidak terlalu maksimal dan dirasakan oleh masyarakat karena kurangnya pengawasan dari BPD layaknya DPRD di daerah yang bertugas sebagai penyambung lidah dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sehingga, dengan adanya fungsi pengawasan secara terus-menerus dan berkelanjutan, tugas dan fungsi yang masih terkendala dalam lembaga tersebut dapat segera diatasi oleh BPD.
Penambahan struktural baru merupakan agenda yang paling penting di tubuh pemerintahan desa, dimana seorang Kepala Desa agar tidak sendirian dalam menjalani urusan pemerintahan desa dan memberi pelayanan kepada masyarakat, seperti yang ada di daerah, distribusi tugas dan wewenangnya tersistematis dan tersusun dengan baik, Kepala Daerah mengatur urusan eksternal daerah, sedangkan Wakil Kepala Daerah mengatur urusan internal di pemerintahan daerah.
Di tingkat desa, Kepala Desa tidak hanya bekerja dan duduk manis di belakang kursi saja, selain harus melayani masyarakat desa dengan sukarela, Kepala Desa juga berkewajiban menjalani pemerintahan desa dengan menjalin kerja sama, apalagi begitu banyaknya agenda pertemuan di kantor desa maupun di luar kota. Dengan demikian, Kepala Desa membutuhkan seorang wakil untuk membantu kinerjanya agar lebih baik dan lebih tertata dalam mengelola desa.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang berbunyi "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang". Senada dengan bunyi UUD 1945, kebutuhan dan perkembangan masyarakat atas pelayanan publik diperlukan penyesuaian dan pembentukan lembaga baru di desa, di tingkatan eksekutif, lembaga yang ada masih belum mewakili bidang-bidang strategis, seperti bidang pendidikan, ekonomi, pertanian dan pembangunan infrastruktur.
Tidak perlu membuat lembaga dinas/badan di tingkat pemerintahan desa seperti di daerah, cukup mengubah atau memperluas tugas dan fungsi perangkat desa berdasarkan bidang-bidang tertentu. Karena, tahu banyak sedikit hal lebih memberikan dampak besar daripada tau sedikit banyak hal. Artinya, tau banyak sedikit hal konsentrasi tugasnya lebih terarah, sedangkan tau sedikit banyak hal lebih kepada mengetahui banyak hal, namun tidak memiliki kompetensi khusus yang bisa dikembangkan untuk berkontribusi.
Yang terakhir adalah pembentukan lembaga penyelenggara pemilihan (Pilkades) sekaligus lembaga pengawasnya, yaitu KPU dan Bawaslu di level desa. Mengingat, kebijakan terkait pelaksanaan dan penundaan Pilkades selalu menjadi ambiguitas di tubuh pemerintah desa, ditambah lagi kewenangan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan seringkali dikaitkan dengan kepentingan Kapala Daerah, potensi infiltrasi dan intervensi Pemkab ke Pemdes hanya dalam rangka kepentingan politik semata, tidak dalam rangka pengarahan dan pembangunan yang merata.
Semua yang tertuang diatas bertujuan untuk mendorong progresivitas pemerintahan desa, dengan argumen yang sederhana, semoga paradigma #DesaMembangunIndonesia diharapkan dapat terus terlaksana demi mendorong kemajuan desa, karena cita-cita yang diwujudkan dengan aksi nyata akan lebih terasa dan lebih mengena dampaknya. Indonesiaku tercinta, izinkanlah gagasan-gagasan ini terus menggema menjadi alarm, sebagai tanda bahwa negara ini masih ada dan sedang baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H