Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

SIM Seumur Hidup Kurangi Kesempatan Korup

8 Juni 2023   05:11 Diperbarui: 9 Juni 2023   06:49 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengendara sepeda motor  (Sumber gambar:  Shrikesh Kumar from Pixabay) 

Ketika ada wacana mengenai SIM (surat izin mengemudi) seumur hidup, saya seketika mengingat tulisan lama di FB. Apakah tulisan itu telah dibaca pengambil kebijakan?

Biar lebih jelas lagi mengenai sikap saya atas isu SIM seumur hidup tersebut, ada baiknya saya ceritakan ulang. Biar nanti Anda dan para pembuat regulasi yang menentukan lebih lanjut.

Pada suatu hari di tahun 2019, tanpa sengaja saya memeriksa dompet dan menemukan masa berlaku SIM saya sudah habis. Sudah lewat beberapa hari masa berlakunya.

Saya tidak bermaksud membangkang. Tapi memang sebelumnya saya jarang sekali ditilang polisi untuk menanyakan ada SIM atau tidak. Tanpa bermaksud sok taat aturan, saya memang jarang ditilang sehingga hampir tidak pernah membuka SIM.

Tapi begitu saya menyadari SIM telah kedaluwarsa, maka saya langsung ke unit polisi yang menangani SIM.

"Ini harus urus ulang karena sudah mati," kata seorang polwan yang bertugas di resepsionis hari itu.

Meski telatnya belum sampai 1 bulan, tapi itu aturan. Dan saya membayangkan tidak akan berdaya untuk berdebat dengan polisi mengenai regulasi tersebut.

"Aturannya memang begitu, Pak," tegas polwan itu lagi.

Maka saya tidak ada pilihan lain. Saya mendaftar ulang seperti orang yang mengurus SIM pertama kali.

Saya menjalani proses itu dengan ikhlas sambil terus mengembangkan pikiran positif, bahwa semua itu terjadi karena kelalaian saya juga. Saya kurang aktif memeriksa masa berlaku SIM, sehingga harus tanggung sendiri akibatnya.

Saya memulai proses itu dengan melengkapi beberapa persyaratan terlebih dahulu. Selain SIM yang sudah tidak berlaku tadi, saya juga menyiapkan fotocopy KTP dan surat keterangan sehat.

Sesuai rekomendasi petugas di sana, saya melakukan pemeriksaan kesehatan di sebuah klinik yang hanya sepelemparan batu dari kantor pengurusan SIM. Di sana saya membayar sejumlah uang, saya kurang ingat persisnya, tapi lebih dari 100 ribu rupiah.

Pemeriksaan kesehatan itu hanya berupa wawancara identitas, kemudian kita diminta untuk mengukur tinggi dan berat badan. Setelah itu saya ditensi dan mengikuti pemeriksaan buta warna.

Saya kemudian diarahkan untuk melakukan pemeriksaan kondisi psikis di hadapan psikolog. Tapi ahli psikologi itu hanya beri satu-dua pertanyaan saja, selesai. Surat keterangan sehat keluar.

Setelah persyaratan sudah lengkap, saya kembali ke kantor pengurusan SIM. Di sana saya mengisi sebuah formulir. Isinya menanyakan seputar identitas pribadi.

Saya membayar biaya pembuatan SIM sejumlah 100 ribu rupiah. Setelah bayar, saya difoto dan melakukan sidik jari.

Tahap pendaftaran selesai. Saya kemudian diarahkan untuk mengikuti tes tertulis. Model tesnya cukup modern, sudah menggunakan komputer.

Saya berhasil lulus pada ujian tersebut dengan nilai yang tidak terlalu jauh dari batas minimal. Meski pas-pasan, saya tetap bangga bisa melewatinya.

Berikutnya saya harus mengikuti tes praktik mengendarai sepeda motor. Sebagai gambaran awal, pada saat tes itu berlangsung, saya sudah terbiasa mengendarai sepeda motor selama kurang lebih 10 tahun.

Sepanjang waktu tersebut, saya pernah mengendarai sepeda motor di kampung yang suasananya sepi; kemudian di Kota Kupang, NTT yang lumayan ramai; dan pernah juga selama kurang lebih 3 tahun berkendara di Kota Surabaya yang dikenal cukup padat jalanannya.

Rekam jejak di dunia persepadamotoran itulah yang membuat saya yakin bisa berkendara dengan baik untuk keperluan sehari-hari. Tapi begitu melihat trek untuk praktik SIM pada waktu itu, nyali saya langsung ciut.

Apalagi ketika melihat peserta yang tes lebih dulu cukup banyak yang gagal, saya mulai resah. Saya merasa pengalaman 10 tahun berkendara sepeda motor dengan baik di jalanan langsung terhapus di hadapan tes praktik SIM itu.

Meski begitu, saya tetap mengikuti prosedur. "Aturannya memang begitu, Pak," kalimat dari polwan yang saya temui di awal terus terngiang dalam kepala.

Saya mendapat kesempatan ujian praktik yang pertama, langsung gagal. Beberapa tiang pembatas trek uji berjatuhan karena disenggol.

Saya diberi kesempatan sekali lagi. Dan gagal lagi. Lalu petugas di ujian praktik itu menjelaskan kalau sehari hanya diberi kesempatan tes sebanyak dua kali.

"Kalau mau ulang datang lagi esok," katanya singkat.

Saya pulang dengan rasa kecewa, tapi tetap bersemangat untuk tes hari berikutnya. Saya terus mengembangkan pikiran dan perasaan positif, bahwa saya bisa!

Hari berikutnya saya datang lagi dengan harapan baru. Sebelum saya memulai ujian praktik itu, saya minta seorang rekan peserta ujian lain untuk merekam prosesnya.

Ujian praktik hari kedua itu gagal lagi. Saya cek rekaman videonya, ada beberapa tiang yang jatuh. Trek ujian praktik SIM itu lebih rumit dari sirkuit balapan di dunia, saya kira. Valentino Rossi belum tentu bisa lolos kalau ia warga Indonesia.

Itu adalah sebuah trek lurus, kemudian kita masuk ke sebuah tikungan menyerupai angka 8. Setelah itu itu kita harus zig-zag lagi di tiang yang berjarak kurang lebih 1 meter.

Saya pulang dengan lesu dan mulai mengeluh kepada beberapa teman. Tidak puas curhat langsung, saya juga menulis di FB. Saya unggah video bagaimana saya menjalani ujian praktik tersebut dan disertai dengan tulisan yang intinya protes dengan aturan tes tersebut.

Curhatan itu mendapat respons yang cukup banyak dari teman-teman. Tapi anehnya, sebagian besar langsung menawarkan jalur alternatif.

"Intinya bro ada uang," kata teman saya.

Saat itu saya dilema. Selama kuliah saya belajar pendidikan anti korupsi (PAK) dan ketika sudah kerja saya juga pernah diminta untuk mengajar mata kuliah tersebut.

Saya tahu betul, menyogok sama dengan korupsi. Maka saya resmi jadi koruptor.

Saya sempat berdebat dengan teman-teman yang menganjurkan jalan pintas tersebut. Mereka memang tidak memaksa, tapi berkata: "Silakan pergi tes terus kalau begitu."

Bayangan trek tes uji SIM yang tidak masuk akal itu langsung muncul dalam benak. Saya hanya mengendarai sepeda motor untuk urusan kerja, beli sayur di pasar, dan kebutuhan harian yang sederhana saja bentuk jalannya. Tidak ada rintangan jalan di dunia nyata seperti pada trek ujian SIM tersebut.

Saya dilema. Kalau saya bayar, maka sudah pasti jadi koruptor. Kalau tidak begitu, maka saya harus tes ulang-ulang. Itu artinya selama mengikuti tes saya tidak punya SIM, tapi berangkat dan pulang tes masih mengendarai sepeda motor sendiri. Itu artinya lagi saya mengendarai secara ilegal karena belum ada SIM.

Ah, dilemanya makin menumpuk dan teman-teman terus menawarkan kemudahan dengan cara membayar seseorang. Saya akhirnya melenggangkan praktik korupsi saat itu demi mendapatkan SIM. Saya kira pengalaman ini juga yang memengaruhi isu citra Polri sebelumnya yang kurang baik.

Curhatan saya mengenai rumitnya mengurus SIM itu benar-benar saya tulis di FB saat itu. Bahkan saya pindahkan lagi ke blog pribadi.

Di tulisan itu saya sampai menyebut Kapolri untuk meninjau kembali aturan pengurusan SIM tersebut. Maka ketika sekarang ada isu SIM berlaku seumur hidup, saya jadi berpikir, apa itu gara-gara curhatan atau tulisan saya dulu?

Ah, saya terlalu ge-er... tapi saya kira urusan SIM ini pasti menjadi keluhan banyak orang. Berdasarkan pengalaman pribadi itu, sudah tentu saya setuju dengan SIM seumur hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun