"Intinya bro ada uang," kata teman saya.
Saat itu saya dilema. Selama kuliah saya belajar pendidikan anti korupsi (PAK) dan ketika sudah kerja saya juga pernah diminta untuk mengajar mata kuliah tersebut.
Saya tahu betul, menyogok sama dengan korupsi. Maka saya resmi jadi koruptor.
Saya sempat berdebat dengan teman-teman yang menganjurkan jalan pintas tersebut. Mereka memang tidak memaksa, tapi berkata: "Silakan pergi tes terus kalau begitu."
Bayangan trek tes uji SIM yang tidak masuk akal itu langsung muncul dalam benak. Saya hanya mengendarai sepeda motor untuk urusan kerja, beli sayur di pasar, dan kebutuhan harian yang sederhana saja bentuk jalannya. Tidak ada rintangan jalan di dunia nyata seperti pada trek ujian SIM tersebut.
Saya dilema. Kalau saya bayar, maka sudah pasti jadi koruptor. Kalau tidak begitu, maka saya harus tes ulang-ulang. Itu artinya selama mengikuti tes saya tidak punya SIM, tapi berangkat dan pulang tes masih mengendarai sepeda motor sendiri. Itu artinya lagi saya mengendarai secara ilegal karena belum ada SIM.
Ah, dilemanya makin menumpuk dan teman-teman terus menawarkan kemudahan dengan cara membayar seseorang. Saya akhirnya melenggangkan praktik korupsi saat itu demi mendapatkan SIM. Saya kira pengalaman ini juga yang memengaruhi isu citra Polri sebelumnya yang kurang baik.
Curhatan saya mengenai rumitnya mengurus SIM itu benar-benar saya tulis di FB saat itu. Bahkan saya pindahkan lagi ke blog pribadi.
Di tulisan itu saya sampai menyebut Kapolri untuk meninjau kembali aturan pengurusan SIM tersebut. Maka ketika sekarang ada isu SIM berlaku seumur hidup, saya jadi berpikir, apa itu gara-gara curhatan atau tulisan saya dulu?
Ah, saya terlalu ge-er... tapi saya kira urusan SIM ini pasti menjadi keluhan banyak orang. Berdasarkan pengalaman pribadi itu, sudah tentu saya setuju dengan SIM seumur hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H