Apalagi ketika melihat peserta yang tes lebih dulu cukup banyak yang gagal, saya mulai resah. Saya merasa pengalaman 10 tahun berkendara sepeda motor dengan baik di jalanan langsung terhapus di hadapan tes praktik SIM itu.
Meski begitu, saya tetap mengikuti prosedur. "Aturannya memang begitu, Pak," kalimat dari polwan yang saya temui di awal terus terngiang dalam kepala.
Saya mendapat kesempatan ujian praktik yang pertama, langsung gagal. Beberapa tiang pembatas trek uji berjatuhan karena disenggol.
Saya diberi kesempatan sekali lagi. Dan gagal lagi. Lalu petugas di ujian praktik itu menjelaskan kalau sehari hanya diberi kesempatan tes sebanyak dua kali.
"Kalau mau ulang datang lagi esok," katanya singkat.
Saya pulang dengan rasa kecewa, tapi tetap bersemangat untuk tes hari berikutnya. Saya terus mengembangkan pikiran dan perasaan positif, bahwa saya bisa!
Hari berikutnya saya datang lagi dengan harapan baru. Sebelum saya memulai ujian praktik itu, saya minta seorang rekan peserta ujian lain untuk merekam prosesnya.
Ujian praktik hari kedua itu gagal lagi. Saya cek rekaman videonya, ada beberapa tiang yang jatuh. Trek ujian praktik SIM itu lebih rumit dari sirkuit balapan di dunia, saya kira. Valentino Rossi belum tentu bisa lolos kalau ia warga Indonesia.
Itu adalah sebuah trek lurus, kemudian kita masuk ke sebuah tikungan menyerupai angka 8. Setelah itu itu kita harus zig-zag lagi di tiang yang berjarak kurang lebih 1 meter.
Saya pulang dengan lesu dan mulai mengeluh kepada beberapa teman. Tidak puas curhat langsung, saya juga menulis di FB. Saya unggah video bagaimana saya menjalani ujian praktik tersebut dan disertai dengan tulisan yang intinya protes dengan aturan tes tersebut.
Curhatan itu mendapat respons yang cukup banyak dari teman-teman. Tapi anehnya, sebagian besar langsung menawarkan jalur alternatif.