Saya memulai proses itu dengan melengkapi beberapa persyaratan terlebih dahulu. Selain SIM yang sudah tidak berlaku tadi, saya juga menyiapkan fotocopy KTP dan surat keterangan sehat.
Sesuai rekomendasi petugas di sana, saya melakukan pemeriksaan kesehatan di sebuah klinik yang hanya sepelemparan batu dari kantor pengurusan SIM. Di sana saya membayar sejumlah uang, saya kurang ingat persisnya, tapi lebih dari 100 ribu rupiah.
Pemeriksaan kesehatan itu hanya berupa wawancara identitas, kemudian kita diminta untuk mengukur tinggi dan berat badan. Setelah itu saya ditensi dan mengikuti pemeriksaan buta warna.
Saya kemudian diarahkan untuk melakukan pemeriksaan kondisi psikis di hadapan psikolog. Tapi ahli psikologi itu hanya beri satu-dua pertanyaan saja, selesai. Surat keterangan sehat keluar.
Setelah persyaratan sudah lengkap, saya kembali ke kantor pengurusan SIM. Di sana saya mengisi sebuah formulir. Isinya menanyakan seputar identitas pribadi.
Saya membayar biaya pembuatan SIM sejumlah 100 ribu rupiah. Setelah bayar, saya difoto dan melakukan sidik jari.
Tahap pendaftaran selesai. Saya kemudian diarahkan untuk mengikuti tes tertulis. Model tesnya cukup modern, sudah menggunakan komputer.
Saya berhasil lulus pada ujian tersebut dengan nilai yang tidak terlalu jauh dari batas minimal. Meski pas-pasan, saya tetap bangga bisa melewatinya.
Berikutnya saya harus mengikuti tes praktik mengendarai sepeda motor. Sebagai gambaran awal, pada saat tes itu berlangsung, saya sudah terbiasa mengendarai sepeda motor selama kurang lebih 10 tahun.
Sepanjang waktu tersebut, saya pernah mengendarai sepeda motor di kampung yang suasananya sepi; kemudian di Kota Kupang, NTT yang lumayan ramai; dan pernah juga selama kurang lebih 3 tahun berkendara di Kota Surabaya yang dikenal cukup padat jalanannya.
Rekam jejak di dunia persepadamotoran itulah yang membuat saya yakin bisa berkendara dengan baik untuk keperluan sehari-hari. Tapi begitu melihat trek untuk praktik SIM pada waktu itu, nyali saya langsung ciut.