Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dokter Gigi Sulit Dicari, Belajar Cara Perawatan Gigi Sendiri

28 Mei 2023   05:56 Diperbarui: 5 Juni 2023   13:06 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perawatan gigi (Sumber gambar: Mohamed Hassan dari Pexels)


Bila kita memegang prinsip semua urusan diserahkan pada ahlinya, maka urusan kesehatan gigi dan mulut harusnya lebih percaya kepada dokter gigi. Tapi, apakah layanan dokter gigi ini mudah dijangkau?

Saya awali dengan cerita masa kecil terlebih dahulu. Ketika saya masih kelas 2 SD, kondisi kampung saya yang ada di Flores, Manggarai masih sangat terpencil. Jalannya masih berbatu dan listrik PLN belum ada.

Jika ingin ke puskesmas, kami harus berjalan kaki antara 30 menit sampai satu jam ke jalan utama. Dari situ kami naik angkutan umum bernama bemo dan di puskesmas kami harus mengantre lama.

Barangkali karena alasan rumitnya akses ke fasilitas kesehatan, khususnya dokter gigi, maka urusan kesehatan gigi dan mulut kami lakukan secara mandiri. Saya berterima kasih kepada perusahaan tapal gigi yang banyak memberikan edukasi lewat iklan komersial mereka.

Tadi saya menyinggung bahwa kampung saya waktu itu belum ada listrik PLN. Kabar baiknya, keluarga kami memiliki mesin listrik sendiri yang hanya dinyalakan antara pukul 6 sore sampai 9 malam.

Kami juga ada sebuah TV kecil ukuran 14 inch yang kami hidupkan selama generator listrik menyala. Dari situlah kami menyaksikan banyak tontonan, salah satunya iklan pasta gigi.

Sebenarnya di buku pelajaran anak SD juga ada informasi tentang pentingnya menggosok gigi. Kami mendapatkan informasi tentang berapa kali sebaiknya menggosok gigi dalam sehari; kapan sebaiknya menggosok gigi; dan bagaimana cara menggosok gigi.

Pelajaran dasar itu diperkuat lagi dengan iklan di TV. Dan pada saat tertentu, ketika iklan tapal itu muncul di layar TV, orang tua biasanya ikut menambahkan: "Itu to, mereka bilang apa. Harus rajin gosok gigi setelah makan dan malam sebelum tidur."

Saya biasanya mengiyakan saja demi ketenangan menonton TV yang waktunya sangat terbatas itu. Tapi pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari, kadang banyak bolongnya.

Kepala saya pernah ditoki kakak saya sendiri ketika kami berbicara agak dekat. Katanya dia jengkel karena mulut saya bau busuk. Tapi begitu saya cek, baunya biasa saja.

Kelak baru saya paham kalau indera penciuman kita pandai beradaptasi dengan bau. Maksudnya, kalau saya terbiasa dengan bau mulut sendiri, kesannya seperti tidak ada apa-apa. Tapi bagi orang lain, itu adalah neraka.

Pada suatu hari, guru-guru di sekolah mengumumkan agar setiap anak wajib membawa sikat dan pasta gigi keesokan harinya. Katanya akan ada petugas kesehatan dari puskesmas yang datang.

Semenjak pengumuman itu, saya menjadi gelisah. Sepulang sekolah, saya tiba-tiba rajin menggosok gigi. Harapan saya, ketika petugas dari puskesmas itu datang, gigi saya tidak bermasalah.

Maka hari itu saya menggosok gigi berulang-ulang untuk menggantikan hari-hari yang bolong sebelumnya. Saya mengira dengan menggosok gigi berulang-ulang, maka kesalahan sebelumnya akan terhapus.

Pada hari yang telah ditetapkan, saya berangkat ke sekolah dengan mantap. Sikat gigi dan pastanya sudah siap. Meski begitu, sesekali saya juga merasa gugup.

Ketika petugas dari puskesmas itu tiba, kami diajarkan cara menggosok gigi. Menurut saya, apa yang mereka ajarkan saat itu kurang lebih sama dengan apa yang saya lihat di iklan TV. Jadi, itu bukan hal yang rumit dan menakutkan.

Tapi setelah itu, setiap anak diperiksa satu per satu oleh petugas. Sebagai anak kelas 2 SD, saya belum ada kepikiran untuk bertanya apakah petugas itu dokter gigi atau perawat gigi atau apa?

Saya memilih di barisan belakang ketika mulai antre ke petugas tadi. Saya perhatikan teman-teman yang diperiksa dulu, ada yang hanya diperiksa sebentar kemudian dibolehkan pulang. Tapi ada juga beberapa anak yang harus dicabut giginya.

Anak-anak yang mendapat tindakan pencabutan gigi, semuanya menjerit. Dan setiap erangannya sampai di telinga saya, dada jadi bergetar.

Tapi saya berusaha meyakinkan diri, saya kan sudah sikat gigi berulang-ulang sehari sebelumnya. Dan beberapa jam sebelum pemeriksaan, saya juga sudah sikat gigi bersama teman-teman.

Berdasarkan iklan tapal gigi yang saya tonton, harusnya gigi saya menjadi lebih sehat. Menurut saya, pasta gigi merupakan krim ajaib yang bisa menghilangkan bau mulut, mematikan kuman, menguatkan gigi, menyehatkan gusi, dan manfaat baik lainnya.

"Sejak kemarin saya sudah rutin menggosok gigi dengan pasta yang sama di iklan," kata saya untuk menenangkan diri sendiri, "maka sudah pasti gigi saya aman hari ini."

Antrean masih panjang dan saya melihat beberapa anak yang menangis karena mulutnya dikorek dengan besi. Saya terus berusaha menenangkan diri sendiri, tapi tidak bisa.

Saya perhatikan guru-guru sempat lengah dan pada kesempatan itu saya berlari ke rumah. Saya yakin gigi saya aman dan tidak perlu diperiksa petugas yang sudah membikin banyak teman-teman saya menangis.

Sekitar 2 jam saya berdiam di rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah, seorang teman datang. Katanya ia disuruh guru untuk memanggil saya.

Saya makin gelisah, sebab saya tahu itu saatnya saya diperiksa. Saya tidak bisa menghindar lagi dan pasrah untuk diperiksa. Tapi saya masih percaya diri, gigi saya sehat seperti iklan di TV.

Ternyata ada gigi saya yang harus dicabut. Mau lari, tapi sudah tidak bisa. Petugas kesehatan dan guru-guru mengelilingi saya. Pasrah.

Ketika proses pencabutan berlangsung, sudah tentu nyeri, tapi rasa sakit yang masih bisa ditahan. Saya lega ketika gigi itu akhirnya keluar. Petugas dari puskesmas itu memberikan sebuah kapas pada area gigi yang sudah dicabut agar tidak terus berdarah.

Supaya kapas itu tidak terlepas atau tanpa sengaja tertelan, hari itu saya tidak mau makan dan minum. Setelah yakin aman, barulah saya mengeluarkan kapas tersebut.

***

Itu pengalaman semasa kecil ketika masih SD. Dan seingat, itu ada kunjungan pertama dan terakhir dari petugas kesehatan gigi itu datang ke sekolah kami.

Karena itu, mungkin sehari setelah mereka pulang, saya sudah lupa membiasakan sikat gigi. Sesekali ingat, tapi lebih banyak bolongnya.

Setelah itu saya dan beberapa teman juga sering mengeluh masalah gigi. Biasanya mengeluh gigi goyang dan nyeri. Masalah seperti itu tidak harus ke puskesmas, sebab terlalu jauh dan terkesan ribet.

Kalau ada anak yang giginya mulai goyah, biasanya disuruh untuk menahan rasa sakitnya saja. "Nanti juga akan jatuh sendiri," bisanya dianjurkan seperti itu.

Ada juga yang lebih ekstrem. Mereka mengambil benang atau tali kecil untuk mengikat gigi goyah itu. Lalu minta seseorang untuk menarik tali itu secara serentak.

Saya tidak pernah coba dan tidak berani melakukan teknik itu. Tapi menurut teman-teman saya, teknik itu sudah banyak berhasil.

Lalu ada juga cerita cara mengurangi rasa nyeri ketika sakit gigi. Ada yang bilang berkumur dengan air kencing sendiri. Ada juga yang menganjurkan berkumur dengan sopi (minuman beralkohol yang diproduksi oleh orang lokal). Dan masih banyak saran lainnya.

Ada satu yang paling banyak direkomendasikan oleh teman-teman, yaitu menginang atau lebih dikenal makan sirih pinang. Katanya aktivitas itu menyehatkan dan menguatkan gigi.

"Nenek saya, sampai usia tua, giginya masih lengkap dan tidak pernah sakit gigi," kata beberapa teman itu meyakinkan.

Kelak ketika saya lebih dewasa dan kuliah di bidang kesehatan (perawat), saya jadi paham ada begitu banyak kekeliruan dari pengalaman masa kecil. Termasuk kebiasaan menginang itu sebenarnya malah merusak gigi dan mulut, itu menurut beberapa penelitian yang saya baca.

Tapi, meskipun saya belajar ilmu kesehatan, hal itu tidak serta merta membuat saya rutin ke dokter gigi. Barangkali karena sejak kecil sudah jarang ke dokter gigi, maka kebiasaan itu terus berlanjut; sudah tertanam di alam bawah sadar.

Tapi ketika masa kuliah itu, ada teman saya yang kuliah di jurusan perawat gigi. Menjelang lulus, ia harus melakukan praktik pembersihan karang gigi dan membutuhkan seseorang yang mau jadi relawan sebagai pasiennya.

Karena dia cukup pusing mencari relawan, saya menawarkan diri. Saya datang ke kampusnya, masuk ke ruangan laboratorium. Di sana ia diawasi dosen pembimbingnya, dan mulai menjalankan kegiatan tahap demi tahap.

Seingat saya, ia menyuruh saya menggosok gigi. Setelah itu ia minta saya berbaring di tempat tidur khusus dengan mulut terbuka. Ia kemudian menyelidik, lalu mengoleskan cairan yang terasa sedikit asam.

Setelah itu ia korek gigi saya dengan alat-alat yang ia punya. Saya merasa sedikit kurang nyaman, tapi masih bisa ditoleransi. Selama proses itu, sesekali saya merasa ada serbuk yang kasar dan sedikit tajam dalam mulut. Ternyata itu adalah karang gigi.

Setelah selesai, saya merasa gigi dan mulut lebih segar. Teman saya itu menyarankan agar rutin melakukan perawatan gigi, tapi kadang saya ingat dan lebih banyak lupanya.

Pembersihan karang gigi itu sudah berlangsung kurang lebih 10 tahun lagi. Saat ini, istri saya yang kebetulan perawat di salah satu puskesmas menyarankan saya ke dokter gigi.

Ia bilang, manfaatkan BPJS yang ada. Ambil surat rujukan di puskesmas, lalu pergi ke dokter gigi untuk membersihkan karang gigi atau pemeriksaan lain.

Saya iyakan, tapi tidak kunjung ambil tindakan. Kenangan trauma masa kecil masih lebih kuat daripada anjuran yang baik.

Tapi, sebaiknya kita memang harus ke dokter gigi. Kesehatan gigi dan mulut kita sangat penting, sebab makanan dan minuman yang membuat kita bertahan hidup hingga saat ini, masuknya lewat mulut.

Kalau mulut dan gigi kita sehat, bagaimana kita bisa bertahan hidup selanjutnya? Saya juga harus segera ke dokter gigi setelah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun