Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menulis Skripsi Itu Mudah, Mudah Bikin Cemas Kalau Tidak Selesai

22 Mei 2023   04:12 Diperbarui: 22 Mei 2023   15:06 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengerjakan skripsi (Sumber: Pixabay)

Saya mengerjakan skripsi tahun 2014, kurang lebih 9 tahun lalu, tapi sensasi rasa cemasnya masih terekam jelas dalam ingatan hingga saat ini, dan mungkin akan terus menghantui pikiran.

Saat itu saya kuliah di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Surabaya. Setelah hampir merampungkan mata kuliah Metodologi Penelitian, dosen koordinator meminta kami memasukkan topik penelitian.

Selama mempelajari Metodologi Penelitian, kami selalu diingatkan untuk mencari topik yang memiliki nilai novelti atau kebaruan. Bisa topiknya yang baru atau kalau topik lama, setidaknya menggunakan metode yang baru.

Kamu tahu, frasa 'nilai kebaruan' itu  gampang disebutkan, tapi terasa sulit begitu mau dirumuskan. Saya sudah mengikuti saran dosen, bahwa harus membaca banyak studi-studi terdahulu. Tapi semakin saya baca, saya merasa semua hal sudah diteliti oleh orang lain.

Sejak saat itu, hari-hari saya diselimuti perasaan cemas. Saya cemas tidak bisa menemukan topik yang memiliki nilai kebaruan. Kalaupun ada satu-dua topik yang sempat terpikirkan, tapi tidak yakin bisa mempertanggungjawabkan di hadapan dosen pembimbing.

Sementara galau seperti itu, pada suatu hari, salah seorang dosen keperawatan jiwa menawarkan penelitian bersama yang hasilnya bisa untuk skripsi. Jadi, dosen tersebut memiliki proyek penelitian yang meliputi tema yang besar, sehingga perlu dipecahkan menjadi beberapa penelitian kecil.

Ilustrasi proses pengerjaan skripsi (Foto: koleksi pribadi) 
Ilustrasi proses pengerjaan skripsi (Foto: koleksi pribadi) 

Selepas kuliah, saya langsung menghadap dosen tersebut dan melamar diri untuk bergabung. Beliau setuju dan memberi saya petunjuk untuk meneliti tentang ACT untuk pasien kanker.

Saya iyakan saja, meski saya kurang paham apa itu ACT. Setelah itu saya mencari tahu sendiri, ternyata itu singkatan dari Acceptance anda Commitmen Therapy. Sejak saat itu, saya mulai mencari referensi sebanyak-banyaknya.

Ketika masa pembagian dosen pembimbing, saya malah mendapat dosen yang bukan pemberi ide topik tadi. Saya mulai cemas lagi, apakah nanti bisa cocok atau tidak?

Beberapa saat setelah pembagian dosen pembimbing, topik pembicaraan teman-teman seangkatan lebih banyak membahas karakter dosen.

"Dosen X itu sulit dicari saat mau bimbingan," kata satu teman.

"Dosen Y itu agak ketus kalau ngomong," kata teman yang lain.

Masih banyak variasi komentar lain yang menunjukkan dosen pembimbing tidak selamanya kooperatif. Dan banyangan seperti itu selalu mengganggu suasana hati.

Meski demikian, saya tetap harus berproses. Ada dua dosen pembimbing. Pembimbing satu menentukan apakah topik penelitian kita layak dijalankan atau tidak. Pembimbing kedua juga ikut memberi saran, tapi pada dasarnya tetap menyesuaikan dengan pembimbing pertama.

Meski sudah mendapatkan topik ACT, saya tetap cemas sebab dosen pembimbingnya bukan dosen yang memberi saran topik. Karena itu, saya tetap harus menyiapkan diri untuk meyakinkan dua dosen pembimbing saya.

Setelah saya mendalami literatur mengenai ACT, ternyata itu adalah salah satu psikoterapi. Acceptance and Commitmen Therapy itu terapi yang bertujuan membuat orang mau menerima kondisi sakitnya, kemudian berkomitmen untuk menjalani proses pengobatan.

ACT ini umumnya diterapkan pada orang yang mengalami penyakit kronis; penyakit yang proses perawatannya sangat lama atau bahkan sepanjang hayat penderita tersebut. Misalnya TB, HIV, kanker, dan sebagainya.

Kenapa ACT ini penting? 

Mari kita contohkan pada penderita kanker. Orang yang pertama kali divonis menderita kanker, biasanya sangat tertekan. Ia akan mengalami fase denial atau menolak; tidak mengakui dirinya menderita kanker. Ia cenderung menganggap diagnosis itu sebagai kekeliruan, sehingga ia tidak mengikuti pengobatan yang dianjurkan tenaga kesehatan.

Kalau kondisinya seperti itu, maka perkembangan penyakit bisa makin buruk dan membahayakan dirinya sendiri. Padahal, penanganan kanker sebenarnya cukup maju dan memberi harapan hidup yang lebih baik. Tapi kalau tidak mengikuti program terapi yang memang panjang dan cukup melelahkan, maka hasilnya akan buruk.

Karena itu, hal pertama yang perlu dilakukan pada penderita penyakit kronis seperti itu adalah, bagaimana membuat dirinya menerima kondisi sakit itu dengan ikhlas. Kalau ia sudah menerima dengan lapang dada, maka berbagai anjuran yang baik biasanya akan diikuti.

Nah, dari konsep tersebut, saya mengajukan proposal tentang penerapan ACT itu pada pasien kanker, apakah berpengaruh pada kualitas hidup mereka?

Saya makin bersemangat ketika pembimbing satu menyetujui konsep tersebut. Dosen pembimbing dua juga oke. Maka selanjutnya saya menyiapkan perangkat penelitian sampai dimatangkan dalam ujian proposal.

Ketika ujian proposal diadakan, saya agak lega ketika tahu salah satunya pengujiannya adalah dosen yang memberi saya topik ACT. Seperti harapan saya, beliau lebih banyak memberi tanggapan positif dan yakin kalau rencana penelitian saya itu bisa dijalankan. Dosen pembimbing dan penguji lain juga sama.

Responden atau sasaran penelitian saya saat itu ada penderita kanker yang ada di wilayah pelayanan Puskesmas Pacarkeling, Kota Surabaya. Ketika informasi itu saya sampai ke teman-teman sesama dari NTT, mereka memberi tanggapan yang bikin saya khawatir lagi.

"Kamu tahu bahasa Jawa, orang sini lebih senang kalau pakai bahasa daerah," kata satu teman.

"Orang di Jawa sini sibuk-sibuk, mereka sulit mau terima kita, kecuali kita bayar pengganti waktunya," kata teman yang lain.

Pendek kata, ada begitu banyak komentar yang membuat saya ragu-ragu di tengah jalan. Tapi kalau saya mundur, bagaimana dengan nasib kuliah saya? Karena itu, meski pikiran tak pernah jenak, saya terus berusaha sebaik mungkin.

Ketika saya jalani dengan niat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, semuanya berjalan lancar. Orang yang saya temui pada umumnya baik. Kami bisa berkomunikasi dengan lancar, dan penelitian saya bisa berjalan dengan baik.

Pertemuan awal saya dengan responden diisi dengan perkenalan atau lebih dikenal dengan istilah: Bina Hubungan Saling Percaya (BHSP). Kami saling berbagi cerita hingga tercipta suasana akrab.

Selanjutnya saya memberi kuesioner untuk mengukur kualitas hidup mereka saat itu. Saya menggunakan alat ukur kualitas hidup yang dikeluarkan WHO, lalu dimodifikasi oleh peneliti lain sebelumnya, sehingga lebih cocok untuk penderita kanker.

Setelah mendapatkan hasilnya, saya memberikan atau menerapkan ACT selama kurang lebih 1 bulan. Setelah penerapan ACT, saya mengukur ulang kualitas hidup para responden dengan alat ukur yang sama pada pengukuran awal.

Jadi, metode penelitian saya itu disebut sebagai eksperimen semu. Disebut semu karena tidak ada kelompok kontrol. Saya hanya memberi intervensi pada satu kelompok responden dan tidak menilai kelompok lain atau penderita kanker lain yang tidak diberi intervensi ACT.

Secara umum, hasil penelitian saya menunjukkan bahwa ACT bisa meningkatkan kualitas hidup pasien kanker. Hanya saja, saya juga menyadari perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode eksperimen yang sesungguhnya. Maksudnya, perlu ada kelompok kontrol untuk memastikan efektivitas ACT tersebut.

Terlepas dari kekurangan tersebut, saya agak lega karena bisa mempertanggungjawabkan hasil penelitian itu dihadapan dosen pembimbing dan penguji. Saya kemudian dinyatakan lulus dan siap ikut wisuda.

Saya gembira dan kemudian berpikir, bagaimana jika saya menyerahkan ketika merasa cemas di tahap awal atau pertengahan? Saya tidak bisa menghitungnya berapa kali saya merasa cemas, saking banyaknya.

Dan setiap kali perasaan cemas itu muncul, ada dua kemungkinan apa yang harus diputuskan: maju atau mundur? Fight or flight?

Saya bersyukur karena tetap berani maju. Fight! Dan ketika sudah menjalaninya, apa yang kita takutkan sebelumnya ternyata tidak terbukti. Omongan orang tentang dosen, responden, dan sebagainya itu tidak ada yang benar.

Menurut saya, semuanya bergantung dari pembawaan diri kita. Kalau kita siap dengan baik dan tulus menjalani prosesnya, maka orang-orang yang kita temui pasti menerima dengan baik.

Itu kesimpulan yang bisa saya temukan setelah melewati prosesnya. Proses menyelesaikan skripsi ini memang selalu mengkhawatirkan, tapi kita harus kuat dan berani untuk menyelesaikannya.

Oh iya, kabar baiknya lagi, hasil penelitian saya itu akhirnya dipublikasikan di Jurnal Ners. Dan dari beberapa artikel ilmiah yang saya punyai hingga saat ini, itu merupakan artikel yang banyak disitasi oleh peneliti lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun