Karena itu, hal pertama yang perlu dilakukan pada penderita penyakit kronis seperti itu adalah, bagaimana membuat dirinya menerima kondisi sakit itu dengan ikhlas. Kalau ia sudah menerima dengan lapang dada, maka berbagai anjuran yang baik biasanya akan diikuti.
Nah, dari konsep tersebut, saya mengajukan proposal tentang penerapan ACT itu pada pasien kanker, apakah berpengaruh pada kualitas hidup mereka?
Saya makin bersemangat ketika pembimbing satu menyetujui konsep tersebut. Dosen pembimbing dua juga oke. Maka selanjutnya saya menyiapkan perangkat penelitian sampai dimatangkan dalam ujian proposal.
Ketika ujian proposal diadakan, saya agak lega ketika tahu salah satunya pengujiannya adalah dosen yang memberi saya topik ACT. Seperti harapan saya, beliau lebih banyak memberi tanggapan positif dan yakin kalau rencana penelitian saya itu bisa dijalankan. Dosen pembimbing dan penguji lain juga sama.
Responden atau sasaran penelitian saya saat itu ada penderita kanker yang ada di wilayah pelayanan Puskesmas Pacarkeling, Kota Surabaya. Ketika informasi itu saya sampai ke teman-teman sesama dari NTT, mereka memberi tanggapan yang bikin saya khawatir lagi.
"Kamu tahu bahasa Jawa, orang sini lebih senang kalau pakai bahasa daerah," kata satu teman.
"Orang di Jawa sini sibuk-sibuk, mereka sulit mau terima kita, kecuali kita bayar pengganti waktunya," kata teman yang lain.
Pendek kata, ada begitu banyak komentar yang membuat saya ragu-ragu di tengah jalan. Tapi kalau saya mundur, bagaimana dengan nasib kuliah saya? Karena itu, meski pikiran tak pernah jenak, saya terus berusaha sebaik mungkin.
Ketika saya jalani dengan niat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, semuanya berjalan lancar. Orang yang saya temui pada umumnya baik. Kami bisa berkomunikasi dengan lancar, dan penelitian saya bisa berjalan dengan baik.
Pertemuan awal saya dengan responden diisi dengan perkenalan atau lebih dikenal dengan istilah: Bina Hubungan Saling Percaya (BHSP). Kami saling berbagi cerita hingga tercipta suasana akrab.
Selanjutnya saya memberi kuesioner untuk mengukur kualitas hidup mereka saat itu. Saya menggunakan alat ukur kualitas hidup yang dikeluarkan WHO, lalu dimodifikasi oleh peneliti lain sebelumnya, sehingga lebih cocok untuk penderita kanker.