Setelah mendapatkan hasilnya, saya memberikan atau menerapkan ACT selama kurang lebih 1 bulan. Setelah penerapan ACT, saya mengukur ulang kualitas hidup para responden dengan alat ukur yang sama pada pengukuran awal.
Jadi, metode penelitian saya itu disebut sebagai eksperimen semu. Disebut semu karena tidak ada kelompok kontrol. Saya hanya memberi intervensi pada satu kelompok responden dan tidak menilai kelompok lain atau penderita kanker lain yang tidak diberi intervensi ACT.
Secara umum, hasil penelitian saya menunjukkan bahwa ACT bisa meningkatkan kualitas hidup pasien kanker. Hanya saja, saya juga menyadari perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode eksperimen yang sesungguhnya. Maksudnya, perlu ada kelompok kontrol untuk memastikan efektivitas ACT tersebut.
Terlepas dari kekurangan tersebut, saya agak lega karena bisa mempertanggungjawabkan hasil penelitian itu dihadapan dosen pembimbing dan penguji. Saya kemudian dinyatakan lulus dan siap ikut wisuda.
Saya gembira dan kemudian berpikir, bagaimana jika saya menyerahkan ketika merasa cemas di tahap awal atau pertengahan? Saya tidak bisa menghitungnya berapa kali saya merasa cemas, saking banyaknya.
Dan setiap kali perasaan cemas itu muncul, ada dua kemungkinan apa yang harus diputuskan: maju atau mundur? Fight or flight?
Saya bersyukur karena tetap berani maju. Fight! Dan ketika sudah menjalaninya, apa yang kita takutkan sebelumnya ternyata tidak terbukti. Omongan orang tentang dosen, responden, dan sebagainya itu tidak ada yang benar.
Menurut saya, semuanya bergantung dari pembawaan diri kita. Kalau kita siap dengan baik dan tulus menjalani prosesnya, maka orang-orang yang kita temui pasti menerima dengan baik.
Itu kesimpulan yang bisa saya temukan setelah melewati prosesnya. Proses menyelesaikan skripsi ini memang selalu mengkhawatirkan, tapi kita harus kuat dan berani untuk menyelesaikannya.
Oh iya, kabar baiknya lagi, hasil penelitian saya itu akhirnya dipublikasikan di Jurnal Ners. Dan dari beberapa artikel ilmiah yang saya punyai hingga saat ini, itu merupakan artikel yang banyak disitasi oleh peneliti lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H