Beberapa saat setelah pembagian dosen pembimbing, topik pembicaraan teman-teman seangkatan lebih banyak membahas karakter dosen.
"Dosen X itu sulit dicari saat mau bimbingan," kata satu teman.
"Dosen Y itu agak ketus kalau ngomong," kata teman yang lain.
Masih banyak variasi komentar lain yang menunjukkan dosen pembimbing tidak selamanya kooperatif. Dan banyangan seperti itu selalu mengganggu suasana hati.
Meski demikian, saya tetap harus berproses. Ada dua dosen pembimbing. Pembimbing satu menentukan apakah topik penelitian kita layak dijalankan atau tidak. Pembimbing kedua juga ikut memberi saran, tapi pada dasarnya tetap menyesuaikan dengan pembimbing pertama.
Meski sudah mendapatkan topik ACT, saya tetap cemas sebab dosen pembimbingnya bukan dosen yang memberi saran topik. Karena itu, saya tetap harus menyiapkan diri untuk meyakinkan dua dosen pembimbing saya.
Setelah saya mendalami literatur mengenai ACT, ternyata itu adalah salah satu psikoterapi. Acceptance and Commitmen Therapy itu terapi yang bertujuan membuat orang mau menerima kondisi sakitnya, kemudian berkomitmen untuk menjalani proses pengobatan.
ACT ini umumnya diterapkan pada orang yang mengalami penyakit kronis; penyakit yang proses perawatannya sangat lama atau bahkan sepanjang hayat penderita tersebut. Misalnya TB, HIV, kanker, dan sebagainya.
Kenapa ACT ini penting?
Mari kita contohkan pada penderita kanker. Orang yang pertama kali divonis menderita kanker, biasanya sangat tertekan. Ia akan mengalami fase denial atau menolak; tidak mengakui dirinya menderita kanker. Ia cenderung menganggap diagnosis itu sebagai kekeliruan, sehingga ia tidak mengikuti pengobatan yang dianjurkan tenaga kesehatan.
Kalau kondisinya seperti itu, maka perkembangan penyakit bisa makin buruk dan membahayakan dirinya sendiri. Padahal, penanganan kanker sebenarnya cukup maju dan memberi harapan hidup yang lebih baik. Tapi kalau tidak mengikuti program terapi yang memang panjang dan cukup melelahkan, maka hasilnya akan buruk.