Mohon tunggu...
Suhadi Sastrawijaya
Suhadi Sastrawijaya Mohon Tunggu... Penulis - Suhadi Sastrawijaya

Suhadi Sastrawijaya penulis berdarah Jawa- Sunda. Hobi membaca terutama buku-buku sastra dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mahkota Surga untuk Ayah

14 Januari 2023   17:47 Diperbarui: 14 Januari 2023   18:00 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu setelah hujan dan jalanan agak lengang. Ayahnya pun mengizinkan, karena selama ini Nadira sudah lancar mengendarai  motor. Namun  ketika mereka melewati tikungan, tanpa diketahui sebelumnya sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi hingga bertabrakan dengan sepeda motor yang di kendarai Nadira. Ia pun bersama ayahnya mengalami luka yang parah. Tiga hari kemudian ayahnya meninggal dunia sementara dirinya harus mengamputasi kedua kakinya karena kakinya tak mungkin lagi bisa disembuhkan.

Dunianya Nadira lalu terasa gelap. Tak ada keinginan lain bagi dirinya selain kematian. Tapi ia pun terus dibesarkan hatinya oleh keluarga dan teman-temannya, sehingga ia masih mau bertahan hidup. Namun kini kenangan manis yang tertimpa pahit kembali bertalu-talu membuat hatinya pilu. Ia  merasa sudah membunuh harapan semua orang yang tak henti-henti memberikan dukungan agar dirinya mampu bertanding di kancah internasional  dalam lomba lari cepat. 

Inilah yang kemudian membuat hatinya kembali pedih dan menyalahkan dirinya sendiri.  Selain itu impian indah yang hancur kembali berkelebat di pikirannya sehingga membuat dirinya kembali  berputus asa. Dengan berurai air mata Nadira memacu kursi rodanya  menyongsong kea rah laut. Nadira berniat menjatuhkan dirinya dari tanggul penahan ombak ke bibir pantai yang dibawahnya bertumpukan batu-batu besar.  Hingga ketika sampai ke bibir tanggul yang menghadap ke laut lepas, kursi rodanya tertahan. Kursi roda itu selamat.

"Hentikan! Apa yang kamu lakukan. Perbuatanmu itu dibenci Allah." Sebuah tangan kekar menahan kursi roda Nadira. Nadira pun tercekat, secara refleks ia menoleh kepada pemilik tangan itu. tampaklah seraut wajah remaja tampan nan teduh menatap dirinya dengan tatapan iba. Tiba-tiba saja ada perasaan aneh yang menelisik ke relung hatinya Nadira. Ternyata lelaki itulah yang sedari  tadi memperhatikan Nadira.

Sesaat Nadira memperhatikan pemilik wajah teduh itu, lalu kemudian Nadira menangis sesenggukan menyesali atas apa yang hampir dilakukannya. Hampir saja bisikan setan meruntuhkan keimanannya dan hampir membuat dirinya kufur.  Namun Allah mengirimkan sesosok  malaikat berbaju koko putih. Lelaki itu menatap Nadira dengan tatapan sendu.

"Ya Allah ampuni aku." Lirih Nadira.

"Allah Pasti mengampunimu.  Kamu jangan mengulangi lagi perbuatan ini."  Bak terkena sihir yang amat sakti, Nadira pun menganggukkan kepalanya begitu saja. Untuk kali kedua ia kembali menatap wajah laki-laki itu. wajah yang teduh dan tampak berseri karena selalu mendawamkan wudhu. Rambut hitam legamnya terlihat dari sela-sela peci putihnya. Membuat pemuda itu semakin tampak kharismatik. Pandangan Nadira pun beralih hingga tatapannya beralih pada objek yang lain. Alangkah terkejutnya Nadira. Ia mendapati sesuatu yang lain dari pemuda itu, namun gelombang kesedihan yang menerpanya barusan membuat dirinya tak sadar akan hal itu.

"Kamu?" kata Nadira terkejut, sembari menatap pada kursi roda yang diduduki pemuda itu.

"ya, beginilah keadaanku. Aku cacat sejak lahir tapi aku tetap bahagia dengan keadaanku ini. Karena aku tahu karunia Allah terlalu  banyak untuk dihitung dan tak mungkin bisa aku menafikannya hanya dengan kakiku yang cacat ini. Sungguh nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan." Ujar pemuda itu dengan lembut. Sepersekian detik, bibir Nadira kelu tak mampu menjawab apa-apa. Hingga alunan suara azan terdengar dari masjid terdekat dan membuyarkan ketermenungan Nadira.

Saat itu juga seorang pria setengah baya datang menghampiri mereka.

"Den, Yuk kita pulang, sudah magrib."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun