Mohon tunggu...
Suhadi Sastrawijaya
Suhadi Sastrawijaya Mohon Tunggu... Penulis - Suhadi Sastrawijaya

Suhadi Sastrawijaya penulis berdarah Jawa- Sunda. Hobi membaca terutama buku-buku sastra dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mahkota Surga untuk Ayah

14 Januari 2023   17:47 Diperbarui: 14 Januari 2023   18:00 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: propertyofhelmy.wordpress.com

                                                                                                       Mahkota Surga Untuk Ayah

Nadira menatap album foto itu dengan tatapan benci. Padahal potret dirinya sedang tersenyum manis bersama teman-teman seperjuangannya sesama atelit pelari cepat. Ingin rasanya Nadira merobek album foto itu sehancur-hancurnya. Namun ia urungkan niat itu. Ah, alangkah naifnya jika dirinya merobek foto-foto itu.  Album foto itu sama sekali tidak berdosa. Lantas siapa yang harus dia salahkan, Tuhan? Ah haruskah dirinya menantang takdir Tuhan, Tuhan sudah terlalu baik kepada dirinya. Alangkah berdosanya ia. Lalu siapa yang harus dia salahkan, apakah dia harus menyalahkan dirinya sendiri?

Ya, dirinyalah yang harus disalahkan. Jika bukan gara-gara dirinya tak mungkin ayahnya meninggal di tempat karena kecelakaan lalu lintas dan dirinya cacat permanen sampai kakinya harus diamputasi. Nadira menatap album foto itu sekali lagi, setelah itu ia melemparkan pandangannya pada laut lepas yang beriak.  Saat itu hari mendekati  senja, burung- burung laut mulai berpulang ke sarang. 

Nadira masih termenung di kursi rodanya sambil memandangi ombak yang berkejaran. Sesekali air matanya berderai. Ia tidak sadar jika beberapa meter dari tempatnya duduk ada seorang laki-laki  muda  kira-kira dua tahun lebih tua darinya  tengah memperhatikan kesedihannya.

Nadira menyeka air matanya yang mengucur deras. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian sembilan bulan lalu. Semuanya masih terasa seperti mimpi. Namun mimpi buruk itu ternyata bukan mimpi. Hari itu ia sangat gembira. Gerbang cita-citanya tampak terbuka lebar. Tinggal melangkahkan kakinya saja ia ke tanah lapang luas itu maka  cita-citanya akan diraihnya. Saat itu Nadira begitu dielu elukan oleh teman-teman sekolahnya. Berkat dirinya sekolahnya kini menjadi terkenal dan diliput oleh media nasional. Padahal sebelumnya sekolahnya hanyalah SMP swasta  biasa yang tak terlalu menonjol soal prestasi.

"Wah... kamu hebat Ra, sampai mendapat juara satu tingkat Nasional. Berkat kamu, bahkan sekolah kita mendapatkan penghargaan dari pemerintah provinsi dan pusat dan makin terkenal. Semoga minggu depan lomba di Malaysia berjalan lancar Ra." Kata Aminah seraya memberi semangat kepada Nadira.

"Amin... terima kasih doa dan dukungannya ya," jawab Nadira mengamini.

Saat itu yang menjadi impian Nadira adalah menjadi Atelit internasional dan bisa keliling dunia. Menurut pelatihnya dirinya punya kemampuan lari lebih cepat daripada pemenang juara satu lomba lari cepat tahun kemarinnya di Eropa.

Jika kondisi kesehatan Nadira prima dan konsentrasi yang penuh, pelatihnya yakin Nadira bisa melenggang dengan mudah untuk meraih medali emas ASEAN. Mendengar prediksi seperti itu dari pelatihnya membuat dirinya semakin Yakin untuk bisa bertanding di kancah dunia dan menjadi sang juara. Impiannya untuk mengajak kedua orang tuanya keliling dunia semakin mendekati kenyataan. Orang tuanya akan semakin bangga padanya. Nadira merasa bahagia bisa membanggakan kedua orang tuanya sebegitu rupa, terlebih ayahnya.

Baca juga: Puisi: Surga Dunia

Ayahnya yang sedari  kecil menggemblengnya menjadi seorang gadis yang tangguh. Ayahnya yang selama ini telaten melatih dan memotivasi dirinya menjadi atlet hebat sebelum dirinya  bertemu dengan pelatih-pelatih profesional.  Bagi Nadira, ayahnya adalah pria  terhebat  di dunia ini. Ayah memang seorang atlet. Walaupun hanya sebagai atlet juara daerah, tapi melalui ayahnya inilah mimpi-mimpi Nadira bisa diwujudkan. Mustahil rasanya dia bisa sehebat ini jika ayahnya itu bukan ayahnya.

Namun kehidupan Nadira seolah berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam satu jam saja. Waktu itu dia bersama ayahnya sehabis belanja dari toko pakaian. Nadira membelikan baju dan kerudung pavorit ibunya. Mereka menaiki motor. Ketika tengah perjalanan pulang, Nadira meminta kepada ayahnya, dia ingin  membawa motor dan ayahnya dibonceng. 

Saat itu setelah hujan dan jalanan agak lengang. Ayahnya pun mengizinkan, karena selama ini Nadira sudah lancar mengendarai  motor. Namun  ketika mereka melewati tikungan, tanpa diketahui sebelumnya sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi hingga bertabrakan dengan sepeda motor yang di kendarai Nadira. Ia pun bersama ayahnya mengalami luka yang parah. Tiga hari kemudian ayahnya meninggal dunia sementara dirinya harus mengamputasi kedua kakinya karena kakinya tak mungkin lagi bisa disembuhkan.

Dunianya Nadira lalu terasa gelap. Tak ada keinginan lain bagi dirinya selain kematian. Tapi ia pun terus dibesarkan hatinya oleh keluarga dan teman-temannya, sehingga ia masih mau bertahan hidup. Namun kini kenangan manis yang tertimpa pahit kembali bertalu-talu membuat hatinya pilu. Ia  merasa sudah membunuh harapan semua orang yang tak henti-henti memberikan dukungan agar dirinya mampu bertanding di kancah internasional  dalam lomba lari cepat. 

Inilah yang kemudian membuat hatinya kembali pedih dan menyalahkan dirinya sendiri.  Selain itu impian indah yang hancur kembali berkelebat di pikirannya sehingga membuat dirinya kembali  berputus asa. Dengan berurai air mata Nadira memacu kursi rodanya  menyongsong kea rah laut. Nadira berniat menjatuhkan dirinya dari tanggul penahan ombak ke bibir pantai yang dibawahnya bertumpukan batu-batu besar.  Hingga ketika sampai ke bibir tanggul yang menghadap ke laut lepas, kursi rodanya tertahan. Kursi roda itu selamat.

"Hentikan! Apa yang kamu lakukan. Perbuatanmu itu dibenci Allah." Sebuah tangan kekar menahan kursi roda Nadira. Nadira pun tercekat, secara refleks ia menoleh kepada pemilik tangan itu. tampaklah seraut wajah remaja tampan nan teduh menatap dirinya dengan tatapan iba. Tiba-tiba saja ada perasaan aneh yang menelisik ke relung hatinya Nadira. Ternyata lelaki itulah yang sedari  tadi memperhatikan Nadira.

Sesaat Nadira memperhatikan pemilik wajah teduh itu, lalu kemudian Nadira menangis sesenggukan menyesali atas apa yang hampir dilakukannya. Hampir saja bisikan setan meruntuhkan keimanannya dan hampir membuat dirinya kufur.  Namun Allah mengirimkan sesosok  malaikat berbaju koko putih. Lelaki itu menatap Nadira dengan tatapan sendu.

"Ya Allah ampuni aku." Lirih Nadira.

"Allah Pasti mengampunimu.  Kamu jangan mengulangi lagi perbuatan ini."  Bak terkena sihir yang amat sakti, Nadira pun menganggukkan kepalanya begitu saja. Untuk kali kedua ia kembali menatap wajah laki-laki itu. wajah yang teduh dan tampak berseri karena selalu mendawamkan wudhu. Rambut hitam legamnya terlihat dari sela-sela peci putihnya. Membuat pemuda itu semakin tampak kharismatik. Pandangan Nadira pun beralih hingga tatapannya beralih pada objek yang lain. Alangkah terkejutnya Nadira. Ia mendapati sesuatu yang lain dari pemuda itu, namun gelombang kesedihan yang menerpanya barusan membuat dirinya tak sadar akan hal itu.

"Kamu?" kata Nadira terkejut, sembari menatap pada kursi roda yang diduduki pemuda itu.

"ya, beginilah keadaanku. Aku cacat sejak lahir tapi aku tetap bahagia dengan keadaanku ini. Karena aku tahu karunia Allah terlalu  banyak untuk dihitung dan tak mungkin bisa aku menafikannya hanya dengan kakiku yang cacat ini. Sungguh nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan." Ujar pemuda itu dengan lembut. Sepersekian detik, bibir Nadira kelu tak mampu menjawab apa-apa. Hingga alunan suara azan terdengar dari masjid terdekat dan membuyarkan ketermenungan Nadira.

Saat itu juga seorang pria setengah baya datang menghampiri mereka.

"Den, Yuk kita pulang, sudah magrib."

"Iya Mang." Pemuda  itu dijemput oleh laki-laki setengah baya.  Nadira masih tercenung melihat pemuda itu pergi, duduk di kursi roda  dan dipapah oleh laki-laki setengah baya itu. Angin laut kembali bersemilir, menarikan dedaunan nyiur di pinggir pantai dan sesekali membelai  rambut Nadira yang tergerai.

"Nadira, maaf mama terlambat. Ayo kita pulang."  Mamanya Nadira datang tergopoh lalu mengajak Nadira pulang.

***

Esok harinya Nadira tak henti-hentinya memikirkan pemuda itu. "Nikmat tuhanmu mana lagi yang kamu dustakan?" itulah kata-kata ajaib yang terucap dari bibir pemuda berwajah teduh itu. Nadira tahu kalimat itu bukanlah kata-kata mutiara biasa. Tapi kalimat suci sebagai teguran Tuhan yang tergores indah dalam Al-Qur'an.  Nadira penasaran siapa pemuda yang seumpama malaikat itu? tiba-tiba  saja lamunannya dikejutkan oleh pesan messenger yang masuk.

"Ra, disimak ya.. videonya. Kenapa sih, kamu gak aktif-aktif ."

Nadira memang sudah lama tidak mengaktifkan jaringan komunikasi Handphonenya. Dan baru tadi pagi ia baru mulai membuka diri. Itu semua karena motivasi singkat dari pemuda misterius itu.

Nadira pun  membuka sebuah tautan yang dikirim sahabatnya yang bernama Aminah.  Video itu dikirim Aminah sejak 4 bulan lalu. Alangkah terkejutnya Nadira ketika  menonton video itu. Ternyata pemuda yang bertemu dengannya di pantai ada dalam video itu. Pemuda itu tengah diwanwancarai oleh seorang youtuber  untuk konten edukasi motifasi. Pemuda itu mengatakan bagaimana seseorang harus bangkit dari keterbatasan.  Ternyata pemuda itu seorang penghafiz Qur'an. Ia tinggal bersama ibunya. Ayahnya telah meninggal sejak dirinya masih bayi.

"Apa yang memotivasimu menghafal Al-Qur'an sehingga berhasil menghafalkan 30 juz, kak Fahmi?"

Aku pernah mendengar sebuah Hadis, bahwa seorang anak yang menghapal A-Qur'an maka ia akan menghadiahkan sebuah mahkota bagi kedua orang tuanya di surga. Aku rasa inilah cara yang aku bisa lakukan untuk berbakti kepada  orang tua dan membanggakannya.  Cara membanggakan orang tua seorang anak cacat. Karena aku tak mungkin bisa menjadi  pemain bola atau model professional. Walaupun demikian, ternyata Allah telah membalas usahaku ini ketika  masih di dunia" Kata Fahmi, pemuda yang bertemu dengan Nadira di pantai kemarin.  Ia berkata-kata sembari menitikkan air mata dan di selingi sungging senyum kebahagiaan.

Dalam tautan video youtube itu juga ditayangkan cuplikan video slide show saat Fahmi melaksanakan umroh dan jalan-jalan melihat peninggalan sejarah peradaban Islam abad pertengahan di beberapa negara Timur Tengah dan Eropa  dengan ibu dan paman pengasuhnya.

"Kekurangan adalah batas kita yang menghambat  kita untuk maju, namun kita bisa menghancurkannya. Menghancurkan batas bukanlah dengan memusuhi kekurangan itu. bukan juga harus tunduk kepdanya. Karena jika tunduk maka kita tak ada bedanya dengan mayat hidup. Maka jalan yang terbaik bagi kita adalah berdamai dengan kekurangan itu tanpa harus tunduk atau memusuhinya, tapi kita mencampakkannya  dan berpaling kepada hal-hal positif yang ada pada diri kita." Itulah kata-kata motifasi dari Fahmi dalam video itu. Tiba-tiba Nadira merasakan ada kehangatan sinar mentari dhuha yang menghangatkan hatinya setelah beku dan putus asa.

***

Nadira meraih mushaf bersampul merah ati. "Bu, aku ingin membanggakan ibu dengan cara ini. Mulai sekarang aku bukan Nadira beberapa bulan yang lalu. Aku ingin belajar Al-Qur'an lagi Bu. Aku ingin menghafalkannya. " Ibu terkejut mendengar apa yang dikatakan anak semata wayangnya itu. Ibunya tahu jika dulu Nadira sangat susah disuruh mengaji. Ketika disuruh mengaji ke rumah ustadzah Aisyah ada-ada saja alasannya. Sakit perut lah, sakit kepala lah. Namun sekarang dari raut wajahnya terpancar keinginan besar untuk belajar dan menghafal Al-Qur'an.

"Kamu serius Nadira?"

"Tentu saja bu, aku ingin menjadi anak yang bisa memberikan mahkota indah surga untuk kedua orang tuannya. Aku mendengar seorang penceramah yang menjelaskan sebuah hadis, barang siapa seorang anak yang belajar dan menghafal Al-Qur'an maka  Allah akan memberikan kedua orang tuanya mahkota surga. Aku ingin ngasih mahkota surga buat ayah dan ibu." Kata Nadira. Mendengar ucapan Nadira yang seperti itu, Ibu pun menangis haru.

"Terima kasih ya Allah engkau telah membangkitkan semangat hidup anakku, yang selama berbulan-bulan terpuruk dalam kubangan keputus asaan. Hari-hari Nadira senantiasa diisi dengan kesedihan dan keputus asaan. Namun kini ia kembali ceria dan bersemangat," gumam ibunya dalam hati sembari memeluk Nadira dengan deraian air mata.

Nadira pun mulai belajar  Al-Qur'an lagi. Ia tidak hanya belajar memperbaiki bacaannya saja tapi juga menghafalkan ayat demi ayat, surat demi surat dan juz demi juz. Ibunya mendatangkan seorang ustazah yang juga penghafiz Qur'an ke rumahnya. Ustazah itu adalah teman ibunya sendiri waktu SMP.

Hari demi hari Nadira belajar dan menghafalkan Al-Qur'an. Waktu luangnya senantiasa diisi dengan hafalan. Semangat hidup Nadira  kembali menyala bagaikan api unggun. Ibunya bisa membedakan jika kini semangat  hidup anaknya lebih besar dari sebelumnya. Bahkan lebih besar semangatnya daripada ketika menggeluti dunia atlet. Jika dulu sifat Nadira terkadang suka manja dan malas malasan dan ayahnya lah yang menyemangatinya. Tapi sekarang sifat manja itu hilang sama sekali. Perkembangan hafalan Nadira semakin hari semakin pesat. 

Dalam waktu satu tahun  nadira mampu menghafalkan 30 juz Al-Qur'an.  Hingga pada suatu hari ustadzahnya mengikutkan Nadira untuk lomba tahfiz Qur'an bulan ramadhan di televisi. Para dewan juri memuji kemampuan hafalan dan bacaan Al-Qur'annya Nadira. Hingga Nadira berhasil mendapatkan Juara satu.  

***

Sungguh ibunya tidak pernah menyangka.  Semangat Nadira bisa bangkit kembali dan hari itu Nadira memberangkatkan ibunya umroh dari hsil hadiah juara satu lomba tahfiz itu. Rasa bahagia, haru berpadu menjadi satu.

"Nadira, kini ibu sudah melihat mahkota surga yang kamu katakana itu, bagi ibu kamulah mahkota surga yang nampak di dunia ini . Ayahmu juga pasti bangga dengan keberhasilanmu," ujar ibunya sembari mengecup kening nadira. Angin awal musim  dingin di Jabal Uhud berembus pelan. Udara belum terlalu dingin. sembari melayangkan tatapannya kepada tanah gurun yang membentang, Nadira mengucap syukur atas apa karunia yang ia peroleh.

Namun yang mengganjal dipikirannya Nadira adalah pemuda misterius itu. Di Raudhoh ia juga mendoakannya. Sejak dirinya mengikuti kompetisi tahfidz ia selalu mencari tahu keberadaan pemuda misterius bernama Fahmi. Namun tim kreatif televisi juga tak bisa mempertemukan dirinya dengan Fahmi. Pernah juga Nadira mendatangi rumahnya namun kosong, kata tetangganya sudah pindah ke luar negeri. Hingga  rasa penasaran membawanya ke tanah suci hingga pulang kembali ke tanah air.

***

Hari itu hari yang amat bahagia bagi Nadira bersama ibu dan pamannya.  Ia naik taksi dari bandara menuju rumahnya. Kini ia telah kembali dari tanah suci mekah dan pulang menuju kampung halamannya. Beberapa undangan telah ia terima. Ia mendapatkan beberapa undangan untuk mengisi acara training motivasi edukasi di beberapa sekolah terbaik di kotanya dan juga undangan dari beberapa sekolah khusus anak-anak tuna daksa. Dirinya diminta untuk memberikan motivasi untuk mereka. betapa bahagianya Nadira, meskipun hidup dengan keterbatasan fisik tapi dirinya bisa memberikan manfaat bagi orang lain.

Dirinya masih ingat, bagaimana beberapa waktu yang lalu ia menjadi orang yang putus asa. Tak ada keinginan lain selain kematian. Ia merasa hidupnya sudah tak tak ada gunanya lagi. Namun ia sadar Tuhan takkan  memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambaNya. Tuhan telah menempanya menjadi gadis yang tangguh. Semuanya pasti ada jalannya, asalkan mau berusaha sungguh- sungguh dan mendekatkan diri kepadaNya. 'Man Jadda Wajada' siapa yang  sungguh sunggu ia akan berhasil.

"Semoga ini menjadikan pahala untukmu ayah, sehingga ayah bisa mendapatkan tempat yang layak disisi Tuhan, amin," gumam Nadira dalam hatinya. Seulas senyuman tersungging di bibirnya.  

Jalanan agak lengang taksi yang ditumpangi Nadira melaju dengan santai. Ibu dan pamannya tampak terkantuk kantuk namun tidak dengan Nadira. Dirinya sama sekali tidak mengantuk mungkin karena dirinya sedang penuh kebahagiaan. Nadira pun membuka channel youtubenya. Ia akan menguploads sebuah video motivasi. Namun ketika nadira hendak mengupoad salah satu videonya untuk konten youtube, di beranda ia menemukan video tentang kabar duka yang ternyata adalah kabar meninggalnya Fahmi seorang penghafiz al-Qur'an nasional. 

Dalam berita itu dikabarkan jenazah Fahmi dipulangkan dari Singapura ke Indonesia dan dimakamkan di tanah kelahirannya. Nadira pun bersedih mendapatkan kabar duka itu.  Padahal sebelumnya Nadira sudah merencanakan  ingin menemui  Fahmi dan mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya.  Namun sebelum sempat ia bertemu dengan malaikat penolongnya, kini malaikat berhati mulia itu sudah dipanggil Tuhan.

***

Pemakaman itu tampak hening . Hanya semilir angin yang mendesau lembut yang sedikit meleraikan keheningan itu. Nadira dan ibunya masih terpekur melangitkan doa-doa di gundungan tanah bisu yang mengebumikan seorang yang berhati mulia. Ialah Fahmi seorang laki-laki yang paling berjasa setelah ayahnya.

Bagi Nadira Fahmi adalah malaikat yang nyata yang dikirimkan Tuhan ke dunia untuk membuat dirinya bangkit dari keputus asaan. Fahmi yang hanya bertemu dengannya secara singkat lalu ia melihatnya sekali dua kali di channel youtube. Tapi bagi dirinya Fahmi sangat berarti. Dialah yang mengajarkan Nadira untuk bangkit dari keputus asaan, menghancurkan sebuah batas yang menjadi kelemahan dan bangkit menjadi gadis tangguh.

Di samping Nadira dan ibunya, ibunya  Fahmi dan kakak  satu satunya Fahmi masih khusuk memanjatkan doa-doa untuk Fahmi.  Hari pun semakin siang, Nadira dan ibunya beranjak pulang. Namun sebelum mereka beranjak pulang, ibunya Fahmi dan kakaknya Fahmi mengajaknya bicara sebentar.

"Nadira, bu Asih, saya ingin membicarakan hal penting untuk ibu dan Nadira." Kata ibunya Fahmi.

"Iya, bu. Ibu mau bicara apa?"

"Fahmi telah banyak bercerita tentang kamu. Dan dia tahu banyak tentang kamu. Kamu adalah gadis yang sangat baik. Ia telah berpesan kepada kakaknya agar kakaknya menghitbah kamu Nadira." Mendengar apa yang dikatakan ibunya Fahmi, Nadira kaget bukan kepalang.

"Tapi aku bukanlah gadis yang sempurna Bu.  Bagaimana mungkin aku bisa bersanding dengan kakak yang begitu sempurna fisiknya."

Farhan, kakaknya Fahmi pun angkat bicara. "Nadira, kesempurnaan hanyalah milik Allah. Aku  berniat menghitbahmu bukan karena permintaan Fahmi saja. Tapi dari lubuk hatiku yang paling dalam aku menaruh rasa cinta kepadamu. Aku tahu kamu tidak sempurna secara fisik. Tapi aku yakin kamu sangat sempurna hatinya. Dan keinginanku adalah  ingin punya pendamping hidup yang kelak akan menerangi seisi rumahku dengan cahaya Al-Qur'an maka disini aku menemukanmu. Bersamamu aku ingin membuat surga menjadi lebih dekat."

Ibunya Fahmi pun ikut bicara "Betul Nadira. Jika ada seorang laki-laki yang baik dan tulus maka tak ada alasan baginya untuk menolaknya selama ia belum punya tambatan hati. " 

Nadira memang tidak punya alasan yang kuat  untuk menolak  lamaran Farhan. Farhan adalah laki-laki yang baik. Dibesarkan oleh keluarga baik-baik. Keluarga yang menjadikan Al-Qur'an sebagai napas kehidupannya. Farhan juga seorang yang rupawan. Berperawakan tegap dan sempurna tak kurang satu apapun. Nadira menoleh kepada ibunya meminta pendapat.

"Ini tergantung Naranimu Nadira. Ibu ikut apapun keputusanmu."

Dengan berurai air mata Nadira menganggukkan kepala.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun