Mbak Murwo makin penasaran. Tiap hari ia meghitung-hitung, berandai-andai, dan membayangkan suami yang ideal untuknya. Satu waktu ia pasrah saja siapapun calon suami yang datang bakal dierima, atau waktu lain ia pingin bersuamikan lelaki yang yang ganteng para bintang sinetron, sekaya konglomerat, dan secerdas para tukang ngoceh di layar televisi. Namun sejauh itu Bu Tini belum berterus terang.Â
Suatu sore Lik Sumar datang dan memesan dua bungkus lotek. Mbak Murwo kaget dan heran sebab sudah lama lelaki itu tidak bermain catur di pos ronda.
"Untuk siapa, Lik, kok dua bungkus? Sebungkus untuk calon isteri ya?" goda Mbak Murwo, memancing.
Lik Sumar tersenyum kecil. Lalu berbisik. "Calon isteriku tidak suka makan lotek?"
"Lho? Kenapa?"
"Ia seorang penjual lotek. . . .!"
"Hahh?!"
Tidak ada pembicaraan lagi. Mbak Murwo tidak menyangka Lik Sumar berani berterus terang. Tapi ia tidak ingin menanggapi gurauan itu. Sebab ia masih penasaran dengan orang yang dicomblangi Bu Tini.
*Â
Sehari kemudian Bu Tini datang, dan seperti biasa mendekat ke belakang berobak dan berbisik pada Mbak Murwo. "Batal, Mbak. Tidak jadi"
"Lho? Kenapa, Bu? Bukankah selama ini aku belum menjawab iya atau tidak? Ia muncul begitu saja. Si pengecut itu. Apa betul ia seorang teroris yang ragu-ragu? Aku tidak mau diajak bunuh diri seperti teroris di Surabaya beberapa hari lalu?"