Mbak Murwo datang membawa gorengan. "Janda muda, Wak Ja'far? Kang Murbani? Ngomongin saya ya?"
Kang Murbani dan Wak Ja'far saling pandang. Lalu kompak tertawa. Dipandanginya perempuan gemuk pendek dan berkulit hitam itu. "Iya, Ngomongin kamu, Mbak. Kami sedang bertarung sengit untuk penentuan siapa yang pantas menjadi pacarmu. . . hehehe!"
Mbak Murwo terkekeh kegelian. "Siapa juga yang mau sama aku. Mas Amin yang jelek itu pun tidak mau. Apalagi kalian? Jangan-jangan kalian bermain catur justru untuk mencari kalah. . .!"
Kang Murbani dan Wak Ja'far tidak mendengarkan apa omongan Mbak Murwo. Permainan memasuki situasi kritis. Harus konsentrasi tinggi. Sebab jika lengah sedikit saja ada ancaman skak-mat.
*
Bu Tin berjalan ditemani Mak Fatmah menuju pos ronda. Kini keduanya punya acara  hampir rutin, yaitu botram alias makan bareng-bareng. Tempatnya di warung Mbak Murwo samping pos ronda. Sesekali Yu Lik, isterinya Lik Sumar, ikut bergabung. Cara jajan mereka jadi unik karena mengajak pada kebersamaan.
Ide awalnya Bu Tin beli rujak, sedangkan Mak Fatmah beli pecel. Mereka duduk bersisian, lalu ngobrol ramai seperti biasa. Dua piring makanan di meja. Lalu makan bareng. Sesekali Bu Tin menyomot pecel, sebaliknya Mak Fatmah mengambil rujak. Pada waktu lain giliran Mak Fatmah beli rujak, Bu Tin beli gorengan.
Sore tadi acara serupa kembali berlangsung.
"Kasihan Mak Enah, ya. Ia tidak menyangka anaknya jadi korban. . . . !" Bu Tin membuka bahan pembicaraan.
"Tabrakan? Kebakaran? Atau. . . Â .?" Mak Fatmah menduga-duga saja.
"Miras oplosan. Dua puluh tewas, dan lainnya dirawat di RSUD Cicalengka, Kabupaten Bandung, salah satunya Jajang anak Mak Enah. . . . !"