Mang Oboy tertawa saja. "Mas Amin punya alibi kuat. Ia sudah sepuluh hari di kampung halamannya, Sedang kematian Bang Safril diperkirakan baru empat hari ini. jadi bukan  Mas Amin pembunuhnya. . . . .  hehehe.. . ."
"Mang Oboy yakin?" tanya Mak Fatmah dengan urang yakin. Â Â
"Lho, begini-begini saya pecandun bacaan dan film detektif. Saya pun selalu mengikuti kabar kematian Bang Safril di koran. Dan tadi saya langsung meng-interogasi Mas Amin. Itulah hasilnya. Cepat, akurat, dan tanpa pretensi menjilat. . . . heheh. Biar cuma tukang tahu, pada zaman now setiap orang dituntut mampu membuat laporan peristiwa tangkas, cerdas, dan bernas . .!"
"Bukan hoaks, apalagi fitnah 'kan?" tanya Bu Tin.
"Bukan tahu-sama-tahu, apalagi tempe-sama-tempe 'kan?"
"Mas Amin masih menyinggung-nyinggung soal sakit hatinya karena disamakan dengan Abu Jahal, Abu Lahad dan abu gosok karena menagih utang kreditan?" desak Bu TIni Subejo.
"TIdak. Ia malah bicara soal Abu Tour, First Travel dan belasan lain, yang dibilangnya merupakan bentuk konkrit penistaan agama tetapi tidak ada demo-demoan, , , , ,, Â hehe!" Â ucap Mango boy.
Bu Tini dan Mak Fatmah bertepuk tangan. "Hidup Mang Oboy. Hidup. Mari kita pilih Mang Oboy dari 'Parpol Tahu-Tempe Sejahtera" sebagai anggota legeslatif ."
Mak Fatmah pun tak mau kalah, ikut menambahi, "Jangan pilih duo tukang nyinyir lagi. Mereka bukan mewakili rakyat. Mereka lebih mendewakan hasrat dan hajat pribadi, kelompok serta parpol sendiri . . . .!"
Mang Oboy tertawa saja. Pada saat itu Bu Tiin kebelet pipis, sedangkan Mak Fatmah tiba-tiba ingat kompor di dapur untuk menanak nasi belum dimatikan. Keduanya melompat seperti belalang sembah pulang ke rumah.
Tinggallah Mang Oboy yang sibuk dan tercengang dengan komentar Bu Tin maupun Mak Fatmah yang sangat politis itu. Dari obrolan penyebab kematian Bang Safril tiba-tiba beralih ke soal lain yang jauh. . . . . !