Pos ronda dipenuhi suara tertawa. Ngobrol sambung-menyambung dan memunculkan suasana saling ejek dalam kadar tertentu memang bernuansa humor.
"Wah, diskusi pos ronda kita ini jadinya lebih segar daripada acara talkshow di layar televisi ya? Di sana moderatornya tidak punya rasa humor, dan lebih suka menggiring para pembicaranya untuk bikin gaduh. . .." komentar  Pak Edi Mur.
"Ya, pemiliknya 'kan pengurus partai. Maklumlah. . . .!" ujar Lik Sumar.
Kali ini belum sampai jam sepuluh mereka sudah bubar. Kartu gaple belum  dikeluarkan. Mereka punya alasan yang berbeda untuk segera kembali ke rumah.
*
Seperti juga peristiwa yang lain, komentar serta tanggapan orang dapat menjadi liar kemana-mana. Apapun dapat disangkut-pautkan, dan apapun dapat dijadikan alasan pembenar atas suatu kesimpulan tertentu. Â Celakanya banyak orang yang suka benar pada hal-hal yang belum pasti. Kalau cuma obrolan warung kopi, di pos ronda, atau di warung sayur lingkupnya 'kan terbatas, tidak apa-apa. Tapi kalau di media massa, di ruang public, dan di media online, tentu berpotensi bikin runyam dan rusak. Namun ternyata hal seperti serupa fenomena atau penyakit yang menular. Sejumlah politisi, figur publik serta pemuka masyarakat yang yang menandai eksistensinya dengan komentar tanda data, informasi sumir, malahan dari berita bohong alias hoaks.
Itu isi obrolan Bu Tini Subejo dengan Mak Fatmah Edi Mur pagi ini. Keduanya bertemu di pos ronda ketika menunggu tukang tahu lewat. Setengah jam lebih yang ditunggu baru muncul. Sampai bahan obrolan habis.
"Mang Oboy, kemana wae? Di tunggu dari tadi nggak muncul-muncul. Ngerumpi dulu ya?" tanya Bu Tin begitu Mang Oboy lewat dengan sepeda onthelnya.
"Aya. Tahu-na parantos se-ep, Neng, diborong ku Mas Amin. . . .!" jawab Mang Oboy dengan bahasa daerahnya. Tahu habis, diborong oleh Mas Amin.
"Se-ep? Mas Amin? Sudah pulang dari kampung ia" seru Mak Fatmah seperti tidak percaya. Â Â
"Tapi bukankah. . . Â .?" tambah Bu Tini, namun tak mampu melanjutkan kata-katanya..