Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kebencian Abu Lahab Melekat pada Diri Mas Amin (3)

3 April 2018   14:08 Diperbarui: 3 April 2018   14:17 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pabrik tahu (foto: beritasatu.com)

Polisi tentu saja mencari-cari penyebab kematian Bang Safril. Mungkin terbunuh, tapi bisa juga karena terpeleset, mabuk berat, atau bunuh diri dengan terjun  ke sungai yang meluap. Kebetulan saat itu Mas Amin Kartamin ada urusan di kampung halaman di Wetan sana. Para tetangga menafsirkan kepergian Mas Amin terkait dengan tewasnya Bang Safril. Tapi ada juga warga Kampung Kalajengking di seputaran pos ronda "klub banting kartu' yang berpendapat bahwa matinya Bang Safril boleh jadi terkait dengan soal utang-piutang.

Malam Minggu sebelum kartu dikeluarkan suasana sudah ramai. Itu malam istimewa sebab anggota klub yang hadir lebih banyak. Hidangan sumbangan dari warga pun mengalir seperti aliran sungai.

"Belum genap tiga bulan Bang Safril keluar dari penjara. Namun memang begitulah seringkali akhir dari para residivis. Mereka mudah mencederai orang lain, bahkan membunuh para korbannya. Dan pada saat yang lain mereka ganti yang diburu, di bunuh, atau terbunuh oleh banyak alasan. . . .!" ucap Mas Bejo di pos ronda 'klub banting kartu' malam harinya. Sepulang kerja ia sempat singgah di kantor polisi.

"Tapi pelakunya belum tertangkap, Mas?" tanya Pak Edi Mur.

"Mungkinkah Mas Amin pelakunya?" tanya Lik Sumar.

"Entah. Kita tunggu saja hasil kerja polisi. Peristiwa nyata itu tidak seperti fiksi yang pelaku kejahatannya harus dimunculkan, dan seringkali gampang ditebak siapa. . . . .!" kata Mas Bejo menanggapi. 

"Tapi aku pernah dengar dari ceritanya sendiri, cerita perjalanan hidupnya. Ia paling tidak suka dikatai kelakuannya mirip Abu Lahab. Meski sifat dan perilakunya lembut, sebenarnya ia seorang pendendam. Bisa jadi juga kema. Kalau benar ia pelakunya, mungkin hal itu yang mendasarinya menghabisi hidup Bang Safril. . . . !" ucap Lik Sumar dengan suara ragu-ragu. "Ah, kenapa aku jadi berprasangka buruk begini? Maaf. Ya. Memang sebaiknya kita tunggu hasil penelusuran polisi!"  

Mas Bejo ikut berkerut kening. "Pada dasarnya tiap orang punya sifat buruk yang sama dengan siapapun yang berperilaku buruk dalam sejarah manusia. Apa itu Abu lahab. Firaun, Musailamah Al Kadzab, Korun, Hitler, Westerling, bahkan Iblis.. . .!"

"Iblis?" sela Kang Murbani.

"Ya, iblis, Namun pada saat yang lain bisa jadi seseorang punya kesalehan yang luar biasa tinggi, menyerupai seorang wali, nabi, bahkan malaikat yang diciptakan memang hanya untuk beribadah. Nah, di sana ada pembelajaran. Jalan hidup orang kita tidak tahu. Namun tentu lebih tidak tahu lagi akhir hidup seseorang apakah beruntung dalam keadaan husnul khatimah, atau justru sebaliknya. Itu sepengetahuanku yang awam ini lho .  . . hehehe!"

"Itu bukan awam lagi, tapi ahlinya. . .. Minimal waktu Pak Ustad berceramah Mas Bejo serius emperhatikan, bukan ngantuk atau malah tertidur pulas. . . hahaha!" sambung Wak Ja'far.

Pos ronda dipenuhi suara tertawa. Ngobrol sambung-menyambung dan memunculkan suasana saling ejek dalam kadar tertentu memang bernuansa humor.

"Wah, diskusi pos ronda kita ini jadinya lebih segar daripada acara talkshow di layar televisi ya? Di sana moderatornya tidak punya rasa humor, dan lebih suka menggiring para pembicaranya untuk bikin gaduh. . .." komentar  Pak Edi Mur.

"Ya, pemiliknya 'kan pengurus partai. Maklumlah. . . .!" ujar Lik Sumar.

Kali ini belum sampai jam sepuluh mereka sudah bubar. Kartu gaple belum  dikeluarkan. Mereka punya alasan yang berbeda untuk segera kembali ke rumah.

*

Seperti juga peristiwa yang lain, komentar serta tanggapan orang dapat menjadi liar kemana-mana. Apapun dapat disangkut-pautkan, dan apapun dapat dijadikan alasan pembenar atas suatu kesimpulan tertentu.  Celakanya banyak orang yang suka benar pada hal-hal yang belum pasti. Kalau cuma obrolan warung kopi, di pos ronda, atau di warung sayur lingkupnya 'kan terbatas, tidak apa-apa. Tapi kalau di media massa, di ruang public, dan di media online, tentu berpotensi bikin runyam dan rusak. Namun ternyata hal seperti serupa fenomena atau penyakit yang menular. Sejumlah politisi, figur publik serta pemuka masyarakat yang yang menandai eksistensinya dengan komentar tanda data, informasi sumir, malahan dari berita bohong alias hoaks.

Itu isi obrolan Bu Tini Subejo dengan Mak Fatmah Edi Mur pagi ini. Keduanya bertemu di pos ronda ketika menunggu tukang tahu lewat. Setengah jam lebih yang ditunggu baru muncul. Sampai bahan obrolan habis.

"Mang Oboy, kemana wae? Di tunggu dari tadi nggak muncul-muncul. Ngerumpi dulu ya?" tanya Bu Tin begitu Mang Oboy lewat dengan sepeda onthelnya.

"Aya. Tahu-na parantos se-ep, Neng, diborong ku Mas Amin. . . .!" jawab Mang Oboy dengan bahasa daerahnya. Tahu habis, diborong oleh Mas Amin.

"Se-ep? Mas Amin? Sudah pulang dari kampung ia" seru Mak Fatmah seperti tidak percaya.   

"Tapi bukankah. . .  .?" tambah Bu Tini, namun tak mampu melanjutkan kata-katanya..

Mang Oboy tertawa saja. "Mas Amin punya alibi kuat. Ia sudah sepuluh hari di kampung halamannya, Sedang kematian Bang Safril diperkirakan baru empat hari ini. jadi bukan  Mas Amin pembunuhnya. . . . .  hehehe.. . ."

"Mang Oboy yakin?" tanya Mak Fatmah dengan urang yakin.   

"Lho, begini-begini saya pecandun bacaan dan film detektif. Saya pun selalu mengikuti kabar kematian Bang Safril di koran. Dan tadi saya langsung meng-interogasi Mas Amin. Itulah hasilnya. Cepat, akurat, dan tanpa pretensi menjilat. . . . heheh. Biar cuma tukang tahu, pada zaman now setiap orang dituntut mampu membuat laporan peristiwa tangkas, cerdas, dan bernas . .!"

"Bukan hoaks, apalagi fitnah 'kan?" tanya Bu Tin.

"Bukan tahu-sama-tahu, apalagi tempe-sama-tempe 'kan?"

"Mas Amin masih menyinggung-nyinggung soal sakit hatinya karena disamakan dengan Abu Jahal, Abu Lahad dan abu gosok karena menagih utang kreditan?" desak Bu TIni Subejo.

"TIdak. Ia malah bicara soal Abu Tour, First Travel dan belasan lain, yang dibilangnya merupakan bentuk konkrit penistaan agama tetapi tidak ada demo-demoan, , , , ,,  hehe!"  ucap Mango boy.

Bu Tini dan Mak Fatmah bertepuk tangan. "Hidup Mang Oboy. Hidup. Mari kita pilih Mang Oboy dari 'Parpol Tahu-Tempe Sejahtera" sebagai anggota legeslatif ."

Mak Fatmah pun tak mau kalah, ikut menambahi, "Jangan pilih duo tukang nyinyir lagi. Mereka bukan mewakili rakyat. Mereka lebih mendewakan hasrat dan hajat pribadi, kelompok serta parpol sendiri . . . .!"

Mang Oboy tertawa saja. Pada saat itu Bu Tiin kebelet pipis, sedangkan Mak Fatmah tiba-tiba ingat kompor di dapur untuk menanak nasi belum dimatikan. Keduanya melompat seperti belalang sembah pulang ke rumah.

Tinggallah Mang Oboy yang sibuk dan tercengang dengan komentar Bu Tin maupun Mak Fatmah yang sangat politis itu. Dari obrolan penyebab kematian Bang Safril tiba-tiba beralih ke soal lain yang jauh. . . . . !

Terkait kematian Bang Safril, semua informasi resmi, setengah resmi dan yang sama sekali tidak jelas asal-usulnya berujung pada kesimpang-siuran, tidak jelas. Sejak itu  Mas Amin pun tidak berjualan lagi. Entah kenapa, dan kemudian akan berjualan apa. Tapi mungkin ia sudah berganti profesi, atau pulang menjadi petani ke kampung halaman di Wetan.

*

Sejak itu suasana siang hari di pos ronda 'klub banting kartu' tidak ada lagi penjual ketoprak khas Mas Amin Kartamin. Tempatnya segera  diis oleh Mbak Murwokanti, yang selain berjualan jamu, juga gorengan, pecel, juice buah dan rujak. Komplit. Enak, banyak, dan murah, itu moto Mbak Murwo dan terbukti mujarab. Tak perlu waktu lama pelanggan berdatangan. Sering Mbak Murwo sampai kewalahan.

Namun malam hari suasana pos ronda berubah sepi. Para lelaki warga kampung seperti enggan keluar rumah. Terlebih hampir setiap malam turun hujan. Suasana itu dibumbui dengan khabar lain yang beredar, entah dari mana asalnya, bahwa pada malam-malam tertentu di seputar pos ronda muncul bayangan mirip Bang Safril. Ngeri ah. Jangan-jangan cerita itu ulah para ibu yang tidak suka para suami terlalu sering ngerumpi dan main gaple di pos ronda? (Selesai)

Bandung, 3 April 2018

 Gambar

Cerita sebelumnya;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun