Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua (Bab Terakhir)

21 Juni 2016   22:35 Diperbarui: 21 Juni 2016   22:37 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ojek sepeda kota tua

Bab X – Satu (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

Tidak ada orang yang tidak tertarik jika ketemu cewek fantik. Dan olleka memiliki kriteria tidak sekedar antik, tetapi jug sangat supel, cerdas, dan setia kawan. Sifat-sifat yang sebenarnya hanya tampak luar yang membungkus ambisi pribadinya yang luar biasa liar.

Sejak muda ia tak lain seorang petualang. Tidak punya keluarga, atau lebih tepatnya tidak diakui keluarga membuatnya menggeladang dari kota ke kota. Kemampuan berbinis dan berkomunikasi dengan sesama warga keturunan yang membuatnya mudah mendapatkan  mata pencaharian. Bahkan karena kemampuannya belajar otodidak ia yang semula hanya pegawai biasa dapat diangkat menjadi sekretaris direktur. Kesempatan itu tidak disia-siakan untuk menjerat hati sang direktur yang lemah dan kurang berpengalaman itu. lewat jalan perselingkuhan panjang akhirnya ia mampu menggaet Ibram, seorang suami yang semula sangat takut dan patuh pada keluarga isteri.

“Aku ingin kamu menjadi suamiku. . . .” ucap Olleka mendesak, pada suatu kesempatan yang snt sempit.

“Aku sudah punya isteri dan dua anak. Aku tindak mungkin meninggalkan mereka karena merekalah yang dulu membuatku seperti ini. . . . .” jawab Ibram tanpa konsentrasi.

“Itu alasan untuk lelaki lemah, lelaki yang tidak punya keinginan menerabas keterbatasan. Aku melihat belenggu yang merantai kedua tangan dan kakimu terlalu kuat. Sehingga kamu menjadi lelaki yang sama sekali tidak berwibawa. Di mata anak buah, jangan lagi dimata kolega dan relasi. Semua itu harus diubah. Dan aku mampu membuatmu berubah!”

“Kamu salah alamat. Mestinya kamu merayu lelaki lain yang jauh lebih kaya dan mapan daripada aku. Aku hanya seorang karyawan dari seorang mertua dan isteri yang baik hati. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka. . . .!”

“Tidak ada orang gila yang berani bersikap sebaliknya dari apa yang kamu kemukakan itu. Namun dunia berputar cepat, semua kemapanan selalu mendapat tantangan untuk perubahan. Dan itu termasuk perasaan dan hati seseorang. Aku tahu keterpencilanmu yang didasari ketidak berdayaan. Dan kamu ingin keluar dari sana. . . .!”

“Bicaramu berputar-putar, aku tidak paham! Sungguh!”  ucap Ibram jengkel.

Lelaki itu terlalu naif ketika berhadapan dengan wanita yang sangat matang dan punya ambisi besar. Olleka menggandeng Ibram memasuki sebuah kamar hotel untuk membuktikan bahwa Ibram mampu berubah. Bahwa Olleka mampu mengubahnya. Kalau jalan lurus tidak diapat, maka jalan apapun ditempuhnya. Dan itulah prinsip Olleka. Sejak itu sifat Ibram tidak berubah, namun ia sudah begitu rupa mempercayai Olleka untuk meninggalkanWasi.  Bagi Ibram, kehadiran Olleka merupakan anugerah sekaligus bencana. Sebaliknya bagi Olleka, statusnya sebagai buron poisi merupakan konsekuensi dari petualangan dan ambisinya. 

***

Hanya selang sehari saja Polresta Kota Barat mengumumkan bahwa pelaku pembakaran restoran Daun Bambu teridentifikasi sebagai sepasang suami-isteri dengan inisial OL dan IB. Pak kapolres sendiri yang mengumumkan, dan beritanya mengisi semua media cetak maupun elektronik.

“Dari visualisasi CCTC yang tidak terlalu jelas, dan ditambahi dengan penelusuran lebih jauh, disimpulkan bahwa pembakar restoran pasangan suami-isteri OL dan IB. Keduanya kini berstatus buron. Bagi siapa saja yang mengetahui keberadaan keduanya diharapkan melapor ke pos polisi terdekat. Sebaliknya bagi siapa saja yang mencoba membantu menyembunyikan pelarian keduanya akan dilibatkan dalam kasus kriminal mereka!”

Tidak ada tanya jawab tentang kedua buron itu. Para jurnalis lebih tertarik pada jumlah korban yang diperkirakan terus bertambah.

“Mengenai jumlah korban. Dari tiga orang yang menderita luka berat, satu diantaranya akhirnya meninggal dunia. Sehingga jumlah korban keseluruhan menjadi delapan belas orang. Dengan berbagai bukti itu pemilik restoran dengan inisial WW ditetapkan menjadi tersangka!” lanjut Kapolres kemudian.

Media pertama yang menyebarkan mengenai penetapan dua buronan dan satu tersangka dalam peristiwa kebakaran restoran Daun Bambu  tentu saja media online dan radio swasta.

Sementara itu karena merasa aman dari kejaran petugas, Olleka mencoba menggunakan angkutan umum untuk pergi sebuah kota pesisir di provinsi timur. Semua bekal dan persiapan telah dikumpulkan dengan baik. Termasuk juga menghilangkan semua jejak profil dan kehidupan pribadi di media sosial.

Ia hendak menumpang kereta api. Namun untuk mendapatkan tiketnya ia harus menggunakan identitas. Kemudian ia memutuskan menggunakan bus malam.

“Kemana, Bu. Tiket tinggal kursi bagian belakang. . . . .!” tanya penjual tiket.

“Ke timur. Tidak apa-apa di belakang. Yang penting terangkut!” jawab Olleka seraya menyerahkan sejumlah uang sesuai tarif travel yang tercantum di papan pengumuman.

“Sendiri saja? Atas nama siapa?”

“Ya. Atas nama Mona . . . .!” jawab Olleka memberi nama lain tanpa harus menunjukkan kartu identitas.

“Oke, Mona. . . . .!” petugas menulis nama di lembar tiket. “Kendaraan akan berhenti di sepertiga perjalanan untuk makan malam. Namun bila sepanjang perjalanan ada penumpang yang perlu ke toilet bisa meminta sopir untuk singgah”.

Dialog itu rutin saja pada setiap pembelian tiket travel maupun kendaraan umum lain. Yang tidak disadari Olleka bahwa petugas penjualan tiket itu tak lain ada petugas reserse. Ketika perjalanan dimulai hendak keluar kota, minibus itu singgah di Mapolres Kota Barat. Di sana Olleka secara resmi ditangkap. Malam itu juga tempat persembunyian Ibram ditemukan polisi. Olleka dalam pemeriksaan awal menyebutkan gamblang siapa otak, pelaku, dan apa penyebabnya.  

***

Hari-hari berlalu lambat bagi Arjo. Ia sengaja menghindar dari Wasi. Ia menikmati sisa uang sepuluh juta rupiah dengan sangat berhemat. Maka ia iseng-iseng menemui teman-temannya di Pangkalan Ojek Sepeda Onthel.

Seperti biasa Santos yang kepalanya pontos itu yang menyambut riang gembira. “Kabar sehat, Pak Arjo? Kemana saja sepertinya banyak duit hingga tidak pernah singgah ke sini. . . . .!”

“Lha ini singgah! Aku sehat, lahir-batin. Kuhaap kamu dan teman-teman semua di sini juga sehat, lancar bekerja dan banyak duit.. . . .hehe!”

Arjo juga menyalami AA Enjang, Jimo Ladrang, Mang Lukimin, serta beberapa orang lain di situ. “Ada berita apa nih? Mungkin bisa dibagi agar bisa ikutan memikirkan!”

“Ojek sepeda akan dilarang di sini. Semua pengojek akan dimasukkan di satu kawasan bernuansa kota tua. Di sana nanti kita mencari rezeki. . . . !” Aa Enjang menjelaskan dengan logat Sundanya.

“Baguslah!” spontan komentar Arjo.

Namun bersamaan dengan itu Jimo Ladrang meringkik. Ada nada kecewa pada suaranya yang besar dan menyentak itu. “Bagus bagaimana logikanya? Di sana kita akan diasramakan. Selain sebagai pengojek juga sebagai petugas dengan gaji tertentu. Tidak bebas lagi. Penghasilan kecil. Belum lagi bagiku jarak dari rumah sangat jauh. . . . . .!”

“Makna bagus itu kan bisa dari beberapa sudut, Bang. Kalau dari sudut pandang satu persatu kita mungkin saja tidak bagus, bahkan sanga buruk. Namun bagaimana sudut pndng orang lain. . . .!” ucap Mas Badri yang mantan pegawai negeri itu menanggapi.

Jimo Ladrang tidak menyahuti. Baginya kebijakan itu salah, dan sangat merugikannya. Ia tidak peduli pendapat orang lain. “Kalau ada yang sependapat denganku, mari kita rencanakan demo. Kalau tidak ada, biarlah aku demo sendiri. Kebenaran itu tidak selalumilik banyak orang. Pikiran orang seorang pun harus dihargai. Dan itulah makna kata demokrasi. Aku akan demo menghentikan dengan menghentikan lalu-lintas  Jalan Kelabang Hitam ini. . . . .!”

Mang Lukimin yang dari tadi terdiam tiba-tiba nyeletuk: “Kapan itu, Bang?”

“Kamu mau ikut?”

“Bukan. Tapi aku sangat mengharapkan jalan raya di depan kita ini selalu macet total tiap hari sehingga usaha ojek sepeda onthel dihargai orang. . . . . .!” jawab Mang Lukimin dengan wajah tanpa dosa.

“Sayang sepedaku ringsek. Dan aku memang tidak akan kembali menjadi tukang ojek lagi. Ini pengalaman pertama dan terakhir saja. Tapi aku sangat senang berkenalan dengan kalian. .. . .!”ujar Arjo sambil mengeluarkan bungkusan rokok kretek Dji Rho Loe kesukaannya. Beberapa orang mengambil sebatang lalu menyulutnya. Dan pembicaraan beralih ke soal rokok, lalu macet, lalu kebakaran retoran, dan kembali ke soal rencana Pemerintah memindahkan ruang kerja mereka.

Arjo melihat ke jalan raya. Dan sepintas dilihatnya Wasi melintas dengan sedan mewahnya. Dua jam lagi siaran Bincang Jelata. Ia tampak bergegas dengan mobilnya, ditengah kepadatan lalu-lintas siang itu. Menengok sebentar ke arah Arjo, lalu menghubungi lewat ponsel.

“Sulit sekali kuhubungi, kemana saja, Bang?” tanya Wasi dengan penasran.

“Tidak kemana-mana. Aku cuma ingin merenungi sisa hidupku ini,” jawab Arjo smbil berjalan menjauh dari kerumunan teman-temannya.

“Abang ingin menjauhiku ya?”

“Mungkin saja. Tetapi tidak, tidak ada alasan bagiku untuk menjauh dari perempuan cantik sepertimu. Hanya kadang aku merasa sangat tak berguna. Hingga sebenarnya akulah yang harusnya kau jauhi. . . . .!”

“Kita ketemu setelah aku siaran ya, Bang. Kujemput di pangkalan itu!”

“Jangan di sini. Di jalan Mangku Bagja saja. Aku tidak enak teman-temanku berprasangka sesuatu, dan terlebih berprasanka jelek. . . . .!”

“Oke, sampai jumpa. . . . .!” ujar Wasi seraya menutup sambungan ponselnya.

Arjo kembali berjalan ke kumpulan teman-temannya. Tidak jauh dari pangkalan itu ada warung nasi dengan lauk-pauk lengkap dan enak. Arjo mentraktir semua teman tukang ojek sepeda onthel makan-minum. Lalu pamit untuk menunggu Wasi di jalan seberang sana.***

Banung, 21 Juni 2016

Sumber gambar: https://maskomuter.wordpress.com/2011/06/20/mau-kemana-lagi-liburan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun