Jimo Ladrang tidak menyahuti. Baginya kebijakan itu salah, dan sangat merugikannya. Ia tidak peduli pendapat orang lain. “Kalau ada yang sependapat denganku, mari kita rencanakan demo. Kalau tidak ada, biarlah aku demo sendiri. Kebenaran itu tidak selalumilik banyak orang. Pikiran orang seorang pun harus dihargai. Dan itulah makna kata demokrasi. Aku akan demo menghentikan dengan menghentikan lalu-lintas Jalan Kelabang Hitam ini. . . . .!”
Mang Lukimin yang dari tadi terdiam tiba-tiba nyeletuk: “Kapan itu, Bang?”
“Kamu mau ikut?”
“Bukan. Tapi aku sangat mengharapkan jalan raya di depan kita ini selalu macet total tiap hari sehingga usaha ojek sepeda onthel dihargai orang. . . . . .!” jawab Mang Lukimin dengan wajah tanpa dosa.
“Sayang sepedaku ringsek. Dan aku memang tidak akan kembali menjadi tukang ojek lagi. Ini pengalaman pertama dan terakhir saja. Tapi aku sangat senang berkenalan dengan kalian. .. . .!”ujar Arjo sambil mengeluarkan bungkusan rokok kretek Dji Rho Loe kesukaannya. Beberapa orang mengambil sebatang lalu menyulutnya. Dan pembicaraan beralih ke soal rokok, lalu macet, lalu kebakaran retoran, dan kembali ke soal rencana Pemerintah memindahkan ruang kerja mereka.
Arjo melihat ke jalan raya. Dan sepintas dilihatnya Wasi melintas dengan sedan mewahnya. Dua jam lagi siaran Bincang Jelata. Ia tampak bergegas dengan mobilnya, ditengah kepadatan lalu-lintas siang itu. Menengok sebentar ke arah Arjo, lalu menghubungi lewat ponsel.
“Sulit sekali kuhubungi, kemana saja, Bang?” tanya Wasi dengan penasran.
“Tidak kemana-mana. Aku cuma ingin merenungi sisa hidupku ini,” jawab Arjo smbil berjalan menjauh dari kerumunan teman-temannya.
“Abang ingin menjauhiku ya?”
“Mungkin saja. Tetapi tidak, tidak ada alasan bagiku untuk menjauh dari perempuan cantik sepertimu. Hanya kadang aku merasa sangat tak berguna. Hingga sebenarnya akulah yang harusnya kau jauhi. . . . .!”
“Kita ketemu setelah aku siaran ya, Bang. Kujemput di pangkalan itu!”