Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua (Bab Terakhir)

21 Juni 2016   22:35 Diperbarui: 21 Juni 2016   22:37 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ojek sepeda kota tua

“Oke, Mona. . . . .!” petugas menulis nama di lembar tiket. “Kendaraan akan berhenti di sepertiga perjalanan untuk makan malam. Namun bila sepanjang perjalanan ada penumpang yang perlu ke toilet bisa meminta sopir untuk singgah”.

Dialog itu rutin saja pada setiap pembelian tiket travel maupun kendaraan umum lain. Yang tidak disadari Olleka bahwa petugas penjualan tiket itu tak lain ada petugas reserse. Ketika perjalanan dimulai hendak keluar kota, minibus itu singgah di Mapolres Kota Barat. Di sana Olleka secara resmi ditangkap. Malam itu juga tempat persembunyian Ibram ditemukan polisi. Olleka dalam pemeriksaan awal menyebutkan gamblang siapa otak, pelaku, dan apa penyebabnya.  

***

Hari-hari berlalu lambat bagi Arjo. Ia sengaja menghindar dari Wasi. Ia menikmati sisa uang sepuluh juta rupiah dengan sangat berhemat. Maka ia iseng-iseng menemui teman-temannya di Pangkalan Ojek Sepeda Onthel.

Seperti biasa Santos yang kepalanya pontos itu yang menyambut riang gembira. “Kabar sehat, Pak Arjo? Kemana saja sepertinya banyak duit hingga tidak pernah singgah ke sini. . . . .!”

“Lha ini singgah! Aku sehat, lahir-batin. Kuhaap kamu dan teman-teman semua di sini juga sehat, lancar bekerja dan banyak duit.. . . .hehe!”

Arjo juga menyalami AA Enjang, Jimo Ladrang, Mang Lukimin, serta beberapa orang lain di situ. “Ada berita apa nih? Mungkin bisa dibagi agar bisa ikutan memikirkan!”

“Ojek sepeda akan dilarang di sini. Semua pengojek akan dimasukkan di satu kawasan bernuansa kota tua. Di sana nanti kita mencari rezeki. . . . !” Aa Enjang menjelaskan dengan logat Sundanya.

“Baguslah!” spontan komentar Arjo.

Namun bersamaan dengan itu Jimo Ladrang meringkik. Ada nada kecewa pada suaranya yang besar dan menyentak itu. “Bagus bagaimana logikanya? Di sana kita akan diasramakan. Selain sebagai pengojek juga sebagai petugas dengan gaji tertentu. Tidak bebas lagi. Penghasilan kecil. Belum lagi bagiku jarak dari rumah sangat jauh. . . . . .!”

“Makna bagus itu kan bisa dari beberapa sudut, Bang. Kalau dari sudut pandang satu persatu kita mungkin saja tidak bagus, bahkan sanga buruk. Namun bagaimana sudut pndng orang lain. . . .!” ucap Mas Badri yang mantan pegawai negeri itu menanggapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun