“Adakah kenangan sesuatu dengan parfum itu?” desak Arjo.
“Mungkin saja. Berapa banyak orang yang kita kenal selama ini dengan berbagai parfum yang berbeda yang harus kita akrabi semata karena kita ada kaitan kerja, kaitan binis, atau sekadar sahabat misalnya!”
“Itu artinya, ya dan tidak, sebuah jawaban terbuka untuk ditafsir ulang. . . . . !” Arjo terkekeh sendiri. Ia ingat dengan beberapa dialog dalam drama yang menjawab sebuah pertanyaan dengan pertanyaan pula, lalu bertanya-jawab dengan diri sendiri, bahkan berdialog dengan benda mati. Makna dialog di sana tidak pernah tegas menyatakan ya atau tidak. Semua karakter, dan bahkan penonton, dibiarkan menafsir sendiri apa yang dia suka, apa yang dia mau.
“Semua hal meninggalkan kenangan tentu saja. . . . .! Bagaimana dengan abang sendiri?” ujar Wasi membalik pertanyaan setelah merasa tersudut pada pilihan jawaban yang makin sulit.
Arjo tidak menjawab sesuatu. Ia hanya menuding dua orang pramusaji yang datang dengan membawa aneka pesanan makanan ala kampung pesisir utara Jawa. Wasi dan Arjo melihat satu persatu masakan yang terhidang di meja. Ada dua belas macam. Dan sekali lagi Arso berpikir menu kali inipun cocok untuk sepuluh orang. . . . . . *** (Bersambung)
Kendal, 13 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H