“Kenapa tidak?”
Lalu-lintas macet Sam Ratulangi, lalu bebelok ke arah Jalan Paprika. Tinggal dekat lagi sebenarnya. Sederetan rumah-rumah tua di jalan ini diubah pemiliknya menjadi kafe-kafe dengan aneka nama yang nasionalistik. Sebut saja Kafe Naknan (kependekan dari kata Enak Tenan, Jawa), Niki Eco Sedoyo (Ini enak semua, Jawa), Jangbahugel (Jangan Berhubungan Gelap, Minahasa), Jangkaimah (untuk yang di rumah, Sunda), dan banyak lagi. Nama-nama itu sesuai dengan menu makanannya yang sangat kampung, namun khas daerah. Namun zemua makanan dan minuman divariasikan dengan nama, penyajian, bahan-bahan, serta terutama penampilan yang wah ala anak muda yang tak pernah kehabisan gaya.
Wasi melewati semua kafe itu. Ada satu lagi yang berbeda. Di kafe yang dituju suasananya lebih sederhana dan untuk semua usia. Live musik parkusi, halaman rindang di bawah keteduhan beberapa pohon sawo kecik dan kelengkeng, serta tata ruang yang mencangkok gaya tahun 1970-an seketika memantapkan perasaan Arjo bahwa Wasi telah sangat tepat memilihkan untuk dirinya. Perasaan si tua yang kembali muda oleh kenangan yang mulai kabur.
Wasi dan Arjo duduk di kursi pada meja tengah. Meja besar itu dikelilingi sepuluh kursi, mereka berhadapan di sudut meja. Seperti dua oarng kekasih, bukan. Seperti ayah dan anak, juga bukan. Mungkin lebih tepat serupa kakek dan seorang cucu perempuan, mungkin. Arjo menduga-duga apakah Wasi juga sedang sibuk memikirkan bagaimana mestinya hubungan mereka disebut.
Dua orang pramusaji lelaki-perempuan datang dengan membawa daftar menu.
“Jangan berkomentar apapun kalau itu hanya pujian. . . . ! Aku justru perlu kritik, dan seorang Arjo pasti tidak kekurangan bahan kalau sekadar untuk mengkritik. Tapi nanti setelah semua hidangan yang ada kita santap. Dan ada waktu beberapa menit untuk membuat semacam statement ihwal tampilan kafe dan cita-rasa masakan ala Bondan Winarno kalau mungkin. . . . .!” ucap Wasi ketika mempersilahkan Arjo duduk.
Arjo diam dan menunggu, mengamati, dan merasakan. Bahkan juga merasakan debar jantungnya manakali mendapati seulas senyum perempuan yang ada di depannya itu. Tampak begitu bersahaja, tidak ada nada manja apalagi sombong meski ia sebetulnya punya segalanya. Tentu saja kecuali rasa percaya diri karena kegagalannya dalam perkawinan dengan dua orang anak yang harus ditanggungnya.
Sambil menunggu pesanan Wasi menyempatkan diri ke toilet. Ia mengambil dari dalam tas dan memasang kerudungnya,. Kemudian menambah bedak tipis, coretan di alis dan polesan lipstik. Semua dilakukannya dengan sangat cepat, dan diakhiri dengan semprotan parfum Etienne Aigner dengan aroma khas buah lemon khusus perempuan. Lalu dirapikannya pakaiannya yang mulai kusut pada beberapa bagian.
Ketika muncul kembali di hadapan Arjo, Wasi coba mencermati apa reaksi lelaki itu atas penampilannya.
“Parfum itu membedakanmu dari banyak perempuan lain.. . . .!” gumam Arjo sambil memandang selintas. Menikmati beberapa detik aroma yang menguar hingga sudut penciuman terdalam. “Mungkin Neng pernah membauiku menggunakan parfum yang hampir sama!”
“Aku tidak yakin. Tapi mungkin saja pernah. Kalau abang senang dengan bau parfum iyu rasanya aku tidak sulit untuk mengikuti selera abang. . . .!” jawab Wasi malu untuk berbicara terus-terang.