Wasi tersadar dari lamunan panjang ketika ponselnya berdering. Cepat ia mengangkat telepon, rupanya dari Maminya. Ia segera keluar ruang perpustakaan, dan duduk di sudut, di deretan kursi tunggu di ruang publik.
“Coba lacak Papimu kemana saja seharian ini. Tidak biasanya ia pergi begitu saja. Seperti ada yang penting sekali. . . ..!” suara nyinyir Mami Wasi dari seberang sambungan.
“Pasti soal bisnis, Ma, apalagi? Mungkin ada pengembangan bisnis baru. . . .!” jawab Wasi menduga-duga.
“Mamimu ini sudah puluhan tahun mendampingi Papimu berbisnis. Jadi tahu kapan pergi dari rumah dan kapan pulang. Bahkan kalaupun tidak pamit. Tapi seharian ini selain tidak pamit juga tidak ketahuan ke mana perginya dan untuk urusan apa. . . .?”
“Jangan-jangan itu ada kaitannya dengan niatnya mau menjadi wakil rakyat, Ma.. Jangan-jangan untuk itu Papi sudah main politik-politikan dengan Mami. . . . .hahaha. . . .! Mudah-mudahan Papi tidak tersesat saja ya!” balas Mami Wasi dengan nada suara tak sabar.
Beberapa orang lalu lalang keluar-masuk ruang perpustakaan itu. Wasi melambaikan tangan menyapa atau membalas salam sambil tersenyum pada orang-orang yang dikenalnya.
“Kamu jangan mengejek begitu. Bagaimanapun ia Papimu, seberapapun aneh dan tidak masuk akal apa yang dilakukanya ia paling tidak suka kalau diremehkan!” suara Mami Wasi terdengar kurang senang.
“Bukan mengejek, Ma, sekadar was-was. Kalau betul Papi akan menyalonkan diri sebagai wakil rakyat, bakal repot urusannya nanti. Dari banyak pemberitaan media dunia itu ibarat rimba raya yang tak bertuan dan sangat gawat, karena banyak hewan buasnya. Di sana tidak ada komitmen, tidak ada perkawanan, sesuatu yang bahkan dijauhi dalam dunia bisnis. . . .!”
“Mami tidak tahu soal itu. Rasanya dimana pun banyak hewan buasnya. Hewan bertaring yang berbentuk manusia, ‘kan? Tapi apa urusan Mami soal itu. Mami cuma mau menanyakan soal Papimu. Lacaklah keberadaannya ke semua rekan bisnisnya, atau ke siapapun kemungkinan ia ke sana!”
“Oke, tapi sambil melakukan pekerjaan bisnis Wasi sendiri ya. Wasi mau ke kantor untuk menyelesaikan beberapa urusan. Kalau sudah selesai baru Wasi datangi ke berbagai lokasi kemana pun kemungkinan Papi berada. . . . !”
“Nah, begitu. . . . . ! mami baru lega!”
Sisa waktu masih cukup panjang bagi Wasi. Tetapi selalu saja waktu perjalanan sang berjalan terasa sangat cepat. Karena pekerjaan dan tindakan apapun harus dilakukan dengan tergesa, seperti tidak ada kesempatan untuk berpikir dua kali.
Wasi punya bisnis sendiri di bidang periklanan luar ruang. Punya kantor sendiri di kawasan strategis serta beberapa orang staf yang sudah mampu bekerja sendiri. Ia tinggal mengarahkan hal-hal penting. Mengeksekusi keputusan strategis yang tidak mungkin diwakilkan.
Di kantor ia biasanya berganti pakaian dengan jenis yang lebih longgar dan nyaman dikenakan. Tidak memaksakan diri untuk mengejar standar penampilan seorang selebritis. Di situ ia juga melakukan sholat, dan mengenakan kerudung meski tidak menutup keseluruhan rambutnya yang hitam sebahu itu. Dengan penampilan demikian ia berubah sama sekali dari sosok glamour seorang presenter televisi menjadi eksekutif muda yang enerjik penuh warna.
Hari itu ia terpaksa meninggalkan jadwal kuliah magister yang hampir rampung teorinya, ia sudah mulai mencari-cari judul untuk menulis tesis. Ia sempat mengisi daftar hadir perkuliahan namun kemudian menghilang karena perut dirasa sangat lapar. Kesibukan seolah terus memburunya. Dan itu memang gaya hidup yang tengah direngkuhnya setelah ia terhempas dari kegagalan rumah-tangga yang menyakitkan.
***
Maghrib sudah lewat, dan malam merambat cepat. Wasi memilih rumah makan padang supaya hidangan tersaji cepat dan tentu saja lebih hemat. Selesai makan ada panggilan pada salah satu telepon genggamnya.
“Hallo, Wasi. Jon Bongsor sudah di tanganku.. . . .!” suara Papinya nerocos kencang dari seberang.
“Siapa itu Jon Bongsor?”
“Siapa? Ya, orang yang kamu rekomendasikan itu? Siapa namanya, Papi juga nggak ingat, tapi kami sepakat ia kupanggil Jon Bongsor. Sedang ia memanggilku Bro Haji. . . . .!”
“Arjo Kemplu? Itu namanya!”
“Ya ya... Arjo Kemplu! Kukira orangnya betul kocak dan banyak akal. Karena cara mendapatinya yang cukup unik, sepanjang pertemuan ia kelihatan sangat hati-hati dan was-was. Mungkin ia punya pengalaman buruk pernah tersandera, diculik, atau peristiwa semacam itu. . .. . .!”
“Jangan lupa, ia pemain drama lho, pemain teater, orang pangggung. Jangan-jangan. . . . .!”
“Ia telah dipermainkanku?” ujar Haji Lolong bingung.
“Bisa jadi begitu. Sekarang Jon Bongsor dimana?”
“Ia sedang di toilet. Kubilang aku telah membubuhi racun di makanannya. . . . .hehe. Padahal kukira ia makan terlalu banyak dengan jenis makanan yang kupesan amat pedas sehingga perutnya melilit. Ia sepertinya percaya kata-kataku. . . . . .!”
“Oh, kalau begitu Papilah yang telah mengecoh seorang pemain drama ya? Wah agaknya cocok juga Jon Bongsor ketemu dengan Bro Haji untuk main drama dalam satu panggung. . . . . .hehehe!” komentar Wasi sambil tertawa.
“Mungkin saja.Tapi masak sih begitu mudahnya setiap orang bisa main drama?”
“Kenapa tidak, Pa? Alam raya ini ‘kan panggung, ada lagunya kok yang dinyanyikan Achmad Albar dengan grup band GodBless. Liriknya berbunyi: “. . . . .dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. . . . . .”
“Itu lagu kesukaan Papi juga. Kalau setiap orang harus bermain sandiwara nanti panggung pertunjukkan penuh sesak, pasti ceritanya jadi picisan dan tidak bermutu”
“Hahaha, Papi lucu . . . . .! Picisan atau tidak itu pilihan kita masing-masing. Dan yang pasti, ditengah sedmikian banyaknya cerita picisan, pasti ada satu dua cerita bagus penuh inspirasi, motivasi, nasehat, dan edukasi. Tergantung bagaimana cara dan sudut pandang kita dalam melihat dan memaknainya. . . .!”
“Kukira memang begitu ya . . . .! Nah, itu Jon Bongsor sudah kembali dari toilet. Kamu mau ikut menemuinya di sini?”
“Dimana, Pa?”
“Restoran Daun Bambu, chinese food halal. Di jalan Pangeran Alap-alap ya. Kamu sudah pernah kemari? Dari simpang enam lurus, langsung belok kanan sebelah kiri, restoran tiga lantai yang selalu penuh pengunjung. Papi tunggu ya, jangan pakai lama apalagi macet. . . . .!” ujar Haji Lolong di ujung sana, dan segera mematikan ponselnya.
Wasi bergegas ke pakiran mobil di lantai lima. Dan seperti setiap kali, waktu begitu cepat berlalu. Siapapun seperti dikejar sesuatu, dan pada saat yang sama mengejar sesuatu. Ya, sesuatu itu sendiri sering tak jelas esensinya. Jika terpikir hal pelik seperti itu seringkali Wasi harus berhenti sejenak untuk merenung, memejamkan mata, dan berdzikir. Maminya yang asli Sumatra Barat sejak kecil mengajarinya kepasrahan seorang hamba di depan Sang Khalik. Tiap detik tiap menit segenap mahluk selalu berdzikir dan bertasbih memuji kemahakuasaan Tuhan, kenapa manusia yang diberi kesempurnaan akal justru mengabaikannya. Pada saat-saat seperti itu sering tanpa terasa butiran air hangat meluncur deras dari kelopak matanya.
“Salah satu kelemahan manusia yaitu tidak mampu menundukkan sifat sombong dan riya’. Sifat arogan dan tinggi hati serta sombong. Sombong yang menjadikan setan terjatuh ke lembah kesesatan, dan riya’ atau takabur yang menjadikan manusia merasa telah melakukan hal-hal yang baik sesuai tuntunan agama namun nilainya kosong karena hanya untuk ditunjukkan kepada manusia. . . . .” ucap seorang mubaligh dalam sebuah ceramah umum yang pernah didengar Wasi.
Masih diingat pula hal mendasar yang harus dimiliki setiap mahluk Tuhan, yaitu rasa ikhlas. Seorang ustadzah menjelaskan hal itu. Rasa ikhlas dalam menjalani hidup dan kehidupan harus dimiliki setiap orang. Cuma permasalahannya apa dan bagaimana mewujudkan rasa ikhlas itu? Bahkan Rasulullah ketika ditanya seorang sahabat suatu hari, tidak bisa langsung menjawab makna kata ikhlas. Nabi minta waktu untuk bertanya kepada Jibril. Namun yang ditanyapun menyatakan tidak tahu, lalu minta waktu untuk bertanya langsung kepada Allah. Jawaban Allah: “Ikhlas menjadi salah satu rahasiaKu. . . . . .!”
Berbagai pikiran itu berkecamuk di benak Wasi saat ia mengemudikan mobilnya untuk menuju sebuah restoran yang ditunjukkan papinya. Lalu entah bagaimana ia teringat pda lelaki tua itu. ingat penampilan, gaya bicara, dan terlebih kemampuannya bercerita sedemikian menarik, Diam-diam Wasi menaruh perhatian besar. Terlebih ketika ia membaui parfum yang persis sama dengan parfum yang biasa dipakai mantan suaminya. Ada terasa sesuatu menyentak dalam kenangannya. Dan itu membuatnya memperhatikan dengan lebih baik apa saja yang diucapkan lelaki itu. Dari boncengan sepeda onthel tua, di tengah keramaian dan kemacetan lalu-lintas kota metropolitan itu
Lalu didengarnya lelaki itu berucap : “Aku akan menikahimu kalau saja ada hal yang bisa menjadikanmu suka. Tapi sungguh aku tidak punya apa-apa. Tentu kecuali sekadar sepeda onthel tua, itu modalku untuk memperpanjang nafas sehari-hari dengan dua bungkus nasi, bekal makan siang dan malam hari. . . . . .!”
“Abang bicara dengan siapa? Dengan aku ya?” tanya Wasi dipenuhi rasa penasaran.
“Ohh, maaf terlalu keras abang mengucapkannya. . . . .! Merasa terganggu ya?” jawab Arjo dengan takzim.
“Ya, tapi itu bicara dengan siapa kulihat tidak sedang menelepon . . . . .!” Wasi mendesak.
“Abang sedang menghafal naskah drama. Waktu pentas sudah makin pendek!” jawab Arjo mencari-cari alasan.
“Kalau saja usia abang tak terpaut jauh dengan umurku kukira aku akan mempertimbangkan permintaanmu untuk menikahiku. . . . .!” ucap Wasi dalam hati seolah menjawab pertanyaan Arjo. “Apakah Abang mampu memutar waktu sehingga dapat kembali muda? Seperti dalam film-film fiksi ilmiah itu?”
“Ohh. . . .!” hanya itu suara yang keluar dari bibir Wasi.
Kebiasaan Wasi mengajak ngobrol dengan siapa saja yang ditemuinya tersalurkan ketika ketemu Arjo. Ia suka banyak bertanya dan berdiskusi. Tak peduli dengan tukang parkir, dengan pedagang kaki lima, atau loper koran. Ia sangat senang bisa mengetahui pendapat orang lain tentang banyak hal. Sebab itu modalnya untuk menggali pertanyaan ketika bertindak sebagai presenter. Hal yang sama tentu ketika berhadapan dengan tukang ojek sepeda onthel yang bernama Arjo itu. Dan kali ini ada sesuatu yang berbeda. . . . .!
Namun agar tidak disebut sebagai perempuan gampangan Wasi, ketika beberapa kali Arjo menguapkan kalimat yang sama pada waktu lain, akhirnya ia berucap : “Bang Arjo, aku yakin ada perempuan lain yang jauh lebih cocok untuk Abang. Dan itu bukan Wasi. Maafkan bila kata-kataku ini tidak mengenakkan hati!”
Begitu kaku kata-kata itu, memang mirip dialog dalam drama serius. Atau sandiwara televisi di masa lalu. Jika teringat hal itu selalu saja Wasi merasa geli sendiri. Meski sekedar ucapan kosong tatkala disampaikan dengan sepenuh hati jadi bermakna lain. Dan celakanya orang panggung sangat pandai bermain-main dengan kesungguhan dalam bekata-kata, padahal hanya dialog imajiner dalam drama. Dalam situasi demikian ia merasa seperti berhadapan dengan lukisan abstrak yang bahkan pelukisnya sendiri tidak tahu makna lukisannya itu.
Wasi memperkirakan sekitar sepuluh menit lagi ia bakal sampai di lokasi yang disebutkan papinya tadi. Bayangannya pada sosok Arjo yang tua, berbadan tinggi-besar, namun begitu pinter ngobrol apa saja masih lekat dalam bayangannya. (Bersambung)
Bandung, 22 Mei 2016
Artikel sebelumnya:
- menulis-apa-saja-tentang-pak-tjip
- cinta-yang-menua-bab-vi-satu
- kalau-ada-hukuman-yang-lebih-berat-dari-hukuman-mati-maka-sc-pantas-menerimanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H