“Ohh. . . .!” hanya itu suara yang keluar dari bibir Wasi.
Kebiasaan Wasi mengajak ngobrol dengan siapa saja yang ditemuinya tersalurkan ketika ketemu Arjo. Ia suka banyak bertanya dan berdiskusi. Tak peduli dengan tukang parkir, dengan pedagang kaki lima, atau loper koran. Ia sangat senang bisa mengetahui pendapat orang lain tentang banyak hal. Sebab itu modalnya untuk menggali pertanyaan ketika bertindak sebagai presenter. Hal yang sama tentu ketika berhadapan dengan tukang ojek sepeda onthel yang bernama Arjo itu. Dan kali ini ada sesuatu yang berbeda. . . . .!
Namun agar tidak disebut sebagai perempuan gampangan Wasi, ketika beberapa kali Arjo menguapkan kalimat yang sama pada waktu lain, akhirnya ia berucap : “Bang Arjo, aku yakin ada perempuan lain yang jauh lebih cocok untuk Abang. Dan itu bukan Wasi. Maafkan bila kata-kataku ini tidak mengenakkan hati!”
Begitu kaku kata-kata itu, memang mirip dialog dalam drama serius. Atau sandiwara televisi di masa lalu. Jika teringat hal itu selalu saja Wasi merasa geli sendiri. Meski sekedar ucapan kosong tatkala disampaikan dengan sepenuh hati jadi bermakna lain. Dan celakanya orang panggung sangat pandai bermain-main dengan kesungguhan dalam bekata-kata, padahal hanya dialog imajiner dalam drama. Dalam situasi demikian ia merasa seperti berhadapan dengan lukisan abstrak yang bahkan pelukisnya sendiri tidak tahu makna lukisannya itu.
Wasi memperkirakan sekitar sepuluh menit lagi ia bakal sampai di lokasi yang disebutkan papinya tadi. Bayangannya pada sosok Arjo yang tua, berbadan tinggi-besar, namun begitu pinter ngobrol apa saja masih lekat dalam bayangannya. (Bersambung)
Bandung, 22 Mei 2016
Artikel sebelumnya:
- menulis-apa-saja-tentang-pak-tjip
- cinta-yang-menua-bab-vi-satu
- kalau-ada-hukuman-yang-lebih-berat-dari-hukuman-mati-maka-sc-pantas-menerimanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H