Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta yang Menua - Bab VI – Dua (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

22 Mei 2016   23:14 Diperbarui: 22 Mei 2016   23:23 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pollock key Sumber gambar : https://allstaractivist.com/tag/abstract-expressionism/

Wasi tersadar dari lamunan panjang ketika ponselnya berdering. Cepat ia mengangkat telepon, rupanya dari Maminya. Ia segera keluar ruang perpustakaan, dan duduk di sudut,  di deretan kursi tunggu di ruang publik.

“Coba lacak Papimu kemana saja seharian ini. Tidak biasanya ia pergi begitu saja. Seperti ada yang penting sekali. . .  ..!” suara nyinyir Mami Wasi dari seberang sambungan.

“Pasti soal bisnis, Ma, apalagi? Mungkin ada pengembangan bisnis baru. . . .!” jawab Wasi menduga-duga.

“Mamimu ini sudah puluhan tahun mendampingi Papimu berbisnis. Jadi tahu kapan pergi dari rumah dan kapan pulang. Bahkan kalaupun tidak pamit. Tapi seharian ini selain tidak pamit juga tidak ketahuan ke mana perginya dan untuk urusan apa. . . .?”

“Jangan-jangan itu ada kaitannya dengan niatnya mau menjadi wakil rakyat, Ma.. Jangan-jangan untuk itu Papi sudah  main politik-politikan dengan Mami. . . . .hahaha. . . .! Mudah-mudahan Papi tidak tersesat saja ya!” balas Mami Wasi dengan nada suara tak sabar.

Beberapa orang lalu lalang keluar-masuk ruang perpustakaan itu. Wasi melambaikan tangan menyapa atau membalas salam sambil tersenyum pada orang-orang yang dikenalnya.

“Kamu jangan mengejek begitu. Bagaimanapun ia Papimu, seberapapun aneh dan tidak masuk akal apa yang dilakukanya ia paling tidak suka kalau diremehkan!” suara Mami Wasi terdengar kurang senang.

“Bukan mengejek, Ma, sekadar was-was. Kalau betul Papi akan menyalonkan diri sebagai wakil rakyat, bakal repot urusannya nanti. Dari banyak pemberitaan media dunia itu ibarat rimba raya yang tak bertuan dan sangat gawat, karena banyak hewan buasnya. Di sana tidak ada komitmen, tidak ada perkawanan, sesuatu yang bahkan dijauhi dalam dunia bisnis. . . .!”

“Mami tidak tahu soal itu. Rasanya dimana pun banyak hewan buasnya. Hewan bertaring yang berbentuk manusia, ‘kan? Tapi apa urusan Mami soal itu. Mami cuma mau menanyakan soal Papimu. Lacaklah keberadaannya ke semua rekan bisnisnya, atau ke siapapun kemungkinan ia ke sana!”

“Oke, tapi sambil melakukan pekerjaan bisnis Wasi sendiri ya.  Wasi mau ke kantor untuk menyelesaikan beberapa urusan. Kalau sudah selesai baru Wasi datangi ke berbagai lokasi kemana pun kemungkinan Papi berada. . . . !”

“Nah, begitu. . . . . ! mami baru lega!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun