Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua #Bab IV – Dua (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

22 April 2016   21:48 Diperbarui: 22 April 2016   22:20 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Mungkin saja. . . . .”

“Tapi Bos mengambil resiko besar dengan menuliknya. Kalau sampai terendus polisi urusannya jdi runyam. Kita juga yang jadi pesakitan. . . . .!”

“Ahya, sudahlah. Semua serba mungkin. Tapi kita tidak perlu tahu semua aurusan kita, kita hanya orang bayaran, orang suruhan. Kalau dibayar sesuai perjanjian selesai urusan. Kita cari pekerjaan lain yang duitnya gede. . . . . .!” suara berat itu makin samar.

Arjo hanya mengingat ada satu pukulan yang menimpa dahinya. Setelah itu ia pingsan. Dan tiba-tiba ia sudah berada di tempat ini. . . . .

Teringat lagi perilaku mereka Arjo ak dapat menahan emosi yang kembali meninggi. Maka satu tendangan masing-masing mendarat di dahi mereka. Keduanya mengaduh dan seketika itu mereka betul-betul sadar. Arjo menahan langkah ketika didengarnya kedua orang mulai meracau penuh kemarahan.

“Bangsat, Codot. . . . . Kamukah yang mengikat tanganku ini, kau tutup pula mataku. . . . .!” ujar si badan besar,

“Kamu Burik, yang bangsat, laknat, bau bangkai. . . . ! Kamuyang mengikat kedua tanganku ini? Kamu juga yang menutup mataku?” ujar Codot tak kalah marah.

Dua orang itu salih tuduh dengan kata-kaa kasar, dan kemarahan memuncak. Arjo sengaja tidak mengikat kaki agar keduanya bebas bergerak. Dan benar saja, begitu kesadaran pulih sama sekali maka cepat keduanya dapat berdiri. Lalu dengan bahu dan kepala keduanya saling tubruk, saling benturkan, dan akhirnya mereka jatuh terguling-guling dengan kulit memar-memar.

“Modar kamu, Codot. . . .! Badanmu terlalu ringkih untuk jadi preman. Menjadi sopir pun tidak layak, terbukti Bos sering memarahimu!” ejek Burik untuk memancing Codot menjawab sehingga diketahui posisi temannya itu. Mereka baru menyadari sama-sama  dangan tangan terikat dan mata tertutup.

“Kamu duluan yang modar. Badanmu besar tapi otak kosong. Bekerja dengan modal dengkul membuatmu jadi orang paling sombong se dunia. . . . . .!”

Perkelahian itu sangat tidak seimbang. Burik berbadan besar dan kuat. Sebaliknya Codot kurus kering dan ringan seperti kerupuk. Namun kemampuan Codot untuk berkelit sangat jempolan. Beberapa kali tubrukan Burik gagal, ia justru jatuh sendiri menghantam tembok. Emosi tinggi itu berakhir di kolong meja. Pingsan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun