Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua #Bab IV – Dua (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

22 April 2016   21:48 Diperbarui: 22 April 2016   22:20 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polisi penjaga sel itu tiba-tiba memutar posisi duduknya. Dan seketika Arjo terjingkat kaget.

“Maling yang berhasl kutangkap hari ini tak lain adalah bapakku. . . ! Orang yang siang malam menasehatiku untuk tidak bertindak curang, apalagi maling!” ujar Pak Polisi yang ternyata anak sulung  dari isteri pertama si maling. Begitu tidak pedulinya pada isteri dan anak, bahkan ketika salah seorang anak menjadi Polisi.

Arjo yang berperan sebagai maling berpura sangat kaget, lalu kumat sakit sakit bengeknya, dan jatuh pingsan.  Penonton tertawa tergelak-gelak oleh akting kedua pemeran itu. Lampu panggung dinyalakan semua, terang benderang. Semua pemain keluar dan berjajar rapi untuk memberi penghormatan kepada penonton. Dan drama komedi 90 menit dengan berjudul ‘Konon Katanya’ garapan Teater Kompor itu pun paripurna . . . .

Arjo masih tersenyum ketika melihat sebuah keran air tidak jauh dari situ. Tidak ada galon air, tidak ada minuman apapun di kulkas, Keran di bak pencucian piring diputarnya, air jernih mengucur deras. Diambilnya sebuah gelas di rak piring untuk menampung air Satu, dua, tiga gelas sekaligus diminumnya untuk menghapus rasa haus. Namun bersamaan dengan itu rasa lapar giliran yang datang.

Belum sempat membuka lemari kayu yang ada di dapur itu, terdengar dari jauh sebuah mobil datang. Jalan aspal kasar, berbatu-batu, dan naik-turun, menjadikan suara mesin terdengar sampai jauh. Arjo berpikir keras apa yang akan dilakukannya. Pilihannya melarikan diri, atau menghadapi siapapun yang datang. Lelaki tua itu mendekati jendela kaca di ruang depan yang dibiarkan terbuka.

Belum sempat melihat ke luar jendela, didapatinya dua orang tergeletak di lantai. Bau meniumn keras masih menyengat hidung. Maka cepat Arjo menyimpulkan merekalah yang telah menyandera dan membawanya kabur sampai ke tempat terpencil ini. Maka dengan refleks dihajarnya lelaki itu satu persatu dengan dua-tiga tendangan di bagian perut masing-masing.

“Mampus! Ini pembalasannya. . . .. sebelum nanti penjara menghadang kalian!” ujar Arjo dengan setengah menggeram karena benci dan marah menjadi satu.

Tidak ada reaksi. Keduanya mabuk berat, dan tidak bersuara apapun kecuali lenguhan pendek. Arjo yang kala muda pernah jadi pemabuk membayangkan betapa sakitnya nanti bila mereka sadar dari mabuk. Terlebih dengan bekas tendangan yang jatuh utuh di tubuh mereka.

“Rasakan sakitnya nanti setelah sadar. Mampus kalau mau mampus.. . . . .!” ujar Arjo. Ia menemukan akal untuk membuat pembalasan. Kebetulan ia mengenakan sepatu menggunakan tali. Maka tali sepatu itu dicopotnya, lalu diikatkan ke tangan orang pertama yang berbadan besar. Lalu ke tangan orang kedua yang kurus. “Masih ada yang kurng. Pembalasan belum sepadan. . . . .!”

Arjo mencari-cari alat untuk menutup mata mereka.  Di dapur ada beberapa lembar kain-kain lap yang tampak kotor.

“Nah, ini ada kain yang sangat cocok untuk membuat kalian terjebak dalam kegelapan. . . .!”   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun