Sementara itu didengarnya suara mobil makin dekat. Jalan yang naik turun membuara suara mesin mobil timbul-tenggelam dalam pendengarannya. Arjo panik untuk segera mengambl keputusan: lari atau menghadapi? Ia bergegas ke ruang belakang. Dilihatnya sebuah mobil terparkir di sana. Arjo berpikir mungkin ia dapat melarikan diri dengan mobil itu. Tapi pasti gampang dilacak, dan bisa jadi malah celaka kalau tertangkap polisi. Tuduhan justru bisa berbalik. Korban kriminal malah jadi buronan. . . . .
Sesampai di depan pintu gerbang, mobil sport warna hitam itu ternyata tidak masuk pekarangan. Namun terus meluncur ke arah lain mengikuti jalan kawasan perbukitan teh itu. Sampai beberapa menit kemudian suara mesinnya tidak terdengar lagi.
Arjo bernafas lega. “Untunglah. . . .! Masih ada waktu untuk merencanakan tindakan apa yang harus diambilnya!”
Arjo terduduk di kursi dekat jendela belakang. Kembali sakit di sekujur tubuh dirasakannya, lalu juga rasa lapar yang melilit perut. Ia berpikir mungkin ada sesuatu yang bisa dimakan. Maka ia cepat membuka-buka kitchen set, laci, dan lemari yang ada siu. Tapi tidak ada apapun. Bahkan bahan makanan pun tidak ada. “Mungkin sudah cukup lama rumah ini tidak ditempati. . . .!” gumam Arjo sendiri. Beruntung masih ada sisa kopi dan gula di toples. Dengan cepat Arjo menuju ke arah kompor dan menyalakannya: menyala.
Maka segera ia menjerang air untuk membuat air kopi. Lumayanlah ada kopi untuk pengganti makanan. Tidak sampai sepuluh menit air mendidih. Arjo menuangkan kopi dan gula ke dalam cangkir, lalu air panas itu dituangkannya sekaligus.
Arjo kembali duduk, dan menunggu sampai air kopi tidak terlalu panas. Cuping hidungnya sudah kembang-kempis oleh rangsangan bau yang kopi menyengat. Arjo membayangkan kalau saja waktu itu ada roti bakar panas-panas. Dioles sedikit mentega, lalu dipotong bentuk dadu kecil-kacil. Dengan garpu potongan roti itu dicelup ke dalam air kopi, lalu sekali pelan-pelan dimasukkan ke dalam rongga mulut. . . . Ooh, leker. Tobat enaknya. Perut lapar, makanan datang panas-panas. . . . .
Bau harum seketika meruap ke udara. Angin siang yang bertiup dari jendela dapur menyebar ke ruangan dalam, bahkan hingga ke ruang depan. Agaknya bau harus itu yang membuat kedua orang yang mabuk di sana mulai siuman.
Sambil bejalan ke ruang depan Arjo teringat beberapa percakapan kedua orang yang membawanya lari itu dalam perjalanan.
“Aku heran apa saja maksud Bos. Menculik tukang ojek sepeda, apa untungnya coba?” ujar si suara berat setengah berteriak.
“Pasti ada tujuannya. Mungkin saja ini soal utang-piutang, atau apa. Tapi bisa jadi urusan cewek, siapa tahu orang ini merebut cewek Bos. . . . .!” suara orang kedua, yang kecil, tidak terlalu terdengar.
“Atau jangan-jangan orang ini informan polisi? Informasinya banyak merugikan bisnis Bos kita?”