[caption caption="perkebunan teh"][/caption]
Hari beranjak siang, namun udara di dalam rumah tetap dingin. Di luar rumah sorot matahari tertutup awan. Suasana perbukitan dengan hamparan kebun teh menghijau sejauh mata memandang. Tidak ada kebisingan lalu-lintas, tidak ada kesibukan hilir-mudik manusia.
Setelah pikiran jernih dan rasa sakit dapat diatasi, Arjo melihat sekeliling. Dapur dengan segala perabotannya. Tiba-tiba betapa haus dan lapar mengganggu perut. Tapi tidak ada air minum yang mudah dijangkau. Ia coba berdiri dan menggerak-gerakan tangan dan kaki yang mati rasa. Ia sekali lagi melihat sekeliling sambil berpikir, betapa bodohnya si penyekap siapapun dia karena membiarkan si pesakitan meloloskan diri.
Menyadari apa yang dialaminya, Arjo tersenyum sendiri. Ia teringat pada sebuah drama pendek dengan cerita serupa yang pernah diperankannya. Sebagai maling, Arjo tertangkap polisi dan dimasukkan ke dalam sel untuk menunggu proses persidangan. Tapi dengan mudah Arjo melepas ikatan yang membelenggu tangan dan kakinya, lalu memperlebar pintu sel yang sudah terbuka tanpa dikunci. Di luar sel seorang polisi muda yang berjaga pura-pura tertidur dengan posisi duduk di kursi kayu menghadap tembok.
“Kenapa kamu membiarkanku melepaskan diri? Apa kamu sudah gila?” kata Arjo dengan suara lantang. “Polisi malam apa kamu ini? Mampu menangkap maling tapi tak sanggup menjaganya dengan baik. . . . .!”
Pak Polisi muda itu tidak menggeser duduknya. Masih menghadap tembok dengan santainya. Lalu terbatuk-batuk kecil menandai ia sudah bangun, dan berkata pelan. “Banyak polisi yang menghadapi situasi sulit. Tapi sesulit apapun tidak pernah seperti pengalamanku ini. . . . .”
“Maksudmu apa? Apakah aku merepotkanmu?”
“Sangat merepotkan.. . . .!”
“Tugas polisi memang repot!”
“Nah, kamu sendiri apa tidak aneh. Diberi kesempatan lari malah membangunkan Polisi yang menjaga.. . . . !”
“Aku cuma penasaran. Sebelum lari aku harus mencari jawab atas rasa penasaranku. . . .!”