Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua # Bab III – Satu

9 April 2016   13:29 Diperbarui: 11 April 2016   00:36 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kesempatan lain Wasi bertemu dengan seorang perempuan setengah tua yang tampak sangat idealis menapaki kehidupan. Penampilannya sanat anggun, modern, namun praktis. Memilih hidup sendiri ia berusaha mendarma-baktikan hidupnya untuk sesuatu yang dianggapnya ideal. Meski tentu banyak orang yang tidak sependapat, dan cenderung menghakiminya sebagai orang aneh, bahkan tidak waras. Julaita nama perempuan itu. Pekerjaan dosen, hobi menjahit dan menulis fiksi, dan sangat sayang pada anak-anak balita, ogah untuk punya bayi sendiri sekalipun sekadar anak dari adopsi.

“Kalau saja kamu seorang lelaki tanpa ditanya dua kali aku akan menyatakan jatuh cinta padamu, lalu mengajakmu untuk pergi ke penghulu.. . . . .!” kata Julaita dengan suara agak gemetar dan mata menerawang jauh.

"Kenapa begitu?" 

“Lelaki yang dulu tega meninggalkanku sangat mirip denganmu. Aku mampu merasakan auramu menyerupai auranya. Caramu bicara, arah pembicaraan, dan terutama caramu mengambil pilihan sulit dalam menghadapi kehidupan. . . . .!”

Wasi meski sangat sering berhadapan dengan pembicaran aneh dengan banyak orang, kali ini tanpa sengaja begitu terjingkat kaget. Sebuah ungkapan yang sangat berterus-terang dan agak sarkas, namun tampak jujur.

Ia bertemu dengan Julaita pada sebuah seminar nasional masalah kegamangan rakyat menghadapi modernitas yang menjajah. Perempuan itu sebagai salah satu pembicara,dan Wasi banyak bertanya dengan kritis.

“Terimakasih atas pujian Ibu, tapi saya sangat jauh dari apa yang ibu persepsikan. Kita baru hari ini bertemu, dan tentu ibu belum tahu persis siapa saya.. . . . !” jawab Wasi merendah dengan senyum malu-malu. Ia coba menyembunyikan semburat merah pada wajahnya yang tiba-tiba merasa jengah oleh pujian itu. “Terimakasih atas pujian Ibu. Tapi mungkin itu terlalu tinggi untuk saya. . . . . .!”

“Ibu sudah lama mengikuti acaramu di televisi, dan aku tidak heran kamu menjadi idola bagi kalangan jelata seperti nama acaramu itu. . . . .!”

Pembicaraan selesai begitu saja. Sebab ibu Julaita disamperin seorang profesor dan mengajaknya ke satu ruangan untuk mendiskusikn satu masalah. Ia melambaikan tangan pada Wasi sambil berucap untuk bertemu kembali suatu ketika nanti,

Wasi tersenyum sendiri dengan kedua tangan masih tegang memegang kemudi. Tanpa terasa jarak tujuan tinggal dekat lagi. Namun masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, yaitu pernyataan bu Julaita : kalau saja kamu seorang lelaki! Ah, apakah aku punya daya tarik kelelakian? Apakah gaya bicara dan sikapku sangat maskulin? Atau jangan-jangan ibu itu memiliki orientasi cinta pada orang sejenis? Hiihhh. Wasi bergidik sendiri ketika membayangkan berbagai perasaan geli, jijik, kotor, dan horor sekaligus.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun