Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua # Bab III – Satu

9 April 2016   13:29 Diperbarui: 11 April 2016   00:36 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="jakarta pagi. Sumber:belindch.wordpress.com"][/caption]Jelang pukul enam pagi. Sorot matahari masih kemerahan di ufuk imur, terhalang gedung-gedung tinggi, juga pepohonan. Sinarnya memantulkan siluet dan bayangan artistik, khas suasana pagi.

Itulah yang dinikmati Wasi dalam perjalanan yang djarang dilakukannya sendiri. Biasanya ia menggunakan angkutan umum. Berbaur dengan warga kota lain. Berdesakan, berebut antrian, dan terutama menikmati banyak perbincangan liar mengenai apa saja. Sebuah pilihan yang tidak gampang. Namun semua itu menjadi sumber untuk menggali ide segar dalam usaha menambah bobot penampilannya sebagai seorang host acara televisi.

Namun pagi itu ia punya pikiran lain. Berangkat lebih pagi, dan mengendarai mobil sendiri ia merasa menjadi orang lain sebenarnya. Kalau biasanya ia tidak peduli pada kemacetan dan kondisi jalan, kini ia sangat fokus. Jalan-jalan protokol di pingggiran kota metropolitan itu seperti dalam istilah petugas jalan ramai lancar, tidak seperti hari-hari biasanya. Memprediksi bagaimana kondisi jalan dengan lalu-lintasnya sering hanya bisa mengandalkan perasaan.

***

Dari rumahnya di kawasan selatan, Wasi mengendarai sendiri mobilnya, sedan dengan merk Eropa, mewah, keluaran terakhir. Sesuatu yang selama ini sangat dijaga untuk tidak diperlihatkan kepada teman sekerja, terlebih kepada para pimpinan perusahaan tempatnya bekerja.

Ini semata untuk menjaga perasaaan, dan terutama untuk tidak menimbulkan dugaan yang bermacam-macam. Namun seberapapun rapat Wasi coba menutupi latar-belakang dirinya, lambat atau cepat toh terendus juga.

“Aku tidak mau pamer, tapi kalau ada ungkapan tidak mengenakkan terkait dengan musibah kemarin, rasanya aku perlu juga berterus-terang siapa diriku!” gumam Wasi sambil menoleh ka arah spion kanan untuk memastikan ia bisa berbelok ka arah kanan dengan aman.

Suara musik blues instrumentalia dengan dominasi suara gitar menggema di dalam mobil mungil itu. Wasi tersenyum sendiri manakala ingat bagaimana dialog dengan orang-orang yang dikenalnya yang dirasa aneh.

“Aku sama sekali tidak menyangka ada darah Tionghoa dalam tubuhmu. Matamu bulat, kulit kehitaman, dengan rambut hitam berombak.. . . .!” desis Bang Pawitra yang bertubuh ceking dan lurus seperti mendesahkan kekaguman yang tersembunyi. Lelaki itu baru sebulan bertemu  dalam profesinya sebagai seorang motivator bagi karyawan dan buruh industri kecil bagi segenap lapisan masyarakat

“Apa perlu obrolan serius tentang etnis ditonjolkan? Orang kerap salah sangka dan cenderung sensitif.. . . . .!” Wasi hanya tersenyum, tentu ada rasa bangga atas sanjungan itu. 

“Mestinya bangsa ini mulai belajar untuk saling terbuka mengenai persoalan suku-agama-ras dan antar golongan. Jika sentimen, stigma, kekuatiran dan ketakutan mestinya tidak justru awet dipelihara.  Karena sampai kapan pun soal itu bakal menjadi ganjalan besar yang tak terselesaikan.  Kuliahmu di Fakultas Sosial dan Politik?”

“Bukan. Kenapa?”

“Mungkin di Fakultas Ekonomi?”

“Bagaimana kamu tahu?”

“Hanya menebak. . . . . .! Aku menghargai sensitivitasmu, sebab di mataku banyak kawan-kawan etnis Tionghoa yang merasa diri superior karena penguasaan ekonomi. Bersamaan dengan itu merasa terus terancam karena minoritasnya. Dan dua hal itu yang menjadi sebab bersikap ekslusif dan serba curiga pada lingkungan. Dan bukankah hal ini yang berpuluh-puluh tahun menjadi semacam penyekat untuk gampang berbaur. Namun hal itu tidak kulihat melekat pada sosokmu. . . . . .!” kata Bang Pawitra dengan suara rendah, terdengar sangat hati-hati agar tidak ditafsirkan salah.

Wasi tidak segera menjawab. Ia termenung beberapa saat sambil meresapi makna kata-kata lawan bicaranya itu. Ada terasa beberapa kebenaran di sana, namun selebihnya memang sebuah pendapat umum yang mesti dikaji dan tidak diartikan negatif. Sebab toh setiap suku maupun etnis di negeri ini punya ciri dan kecenderungan tertentu, baik untuk modal mempererat kesatuan dan persatuan bangsa maupun sebaliknya sebagai potensi konflik.

“Jadi inti dari pembicaraan kita ini apa sebenarnya, Bang?”

“Kamu menjadi sosok yang berbeda. Dan bisa makin banyak orang yang mampu menepis anggapan umum yang tidak tepat, cenderung apriori, dan apalagi salah; maka itulah benih subur untuk merajut keindonesiaan yang lebih kuat ke depan. . . . .!”

“Begitu heroiknya?”

“Ya, terlebih dalam peranmu sebagai seorang host acara di televisi, sebagai public figure, dan berbagai peran lain yang terkait dengan hal itu . . . . .!”

Wasi merasakannya sebagai sebuah dialog yang bernas, kadang bahkan terasa manis, dan itu selalu diingatnya sebagai pemacu semangat  dalam berkarya. Dalam kondisi penat, buntu, dan sering dilanda keinginan menyerah, Wasi mengingat nama Bang Pawitra. Bukan karena ganteng dan punya pesona luar biasa di depan sosok perempuan, tetapi semata pengamatannya yang tajam untuk mampu menyelami dasar perasaan wanita.

 

Pada kesempatan lain Wasi bertemu dengan seorang perempuan setengah tua yang tampak sangat idealis menapaki kehidupan. Penampilannya sanat anggun, modern, namun praktis. Memilih hidup sendiri ia berusaha mendarma-baktikan hidupnya untuk sesuatu yang dianggapnya ideal. Meski tentu banyak orang yang tidak sependapat, dan cenderung menghakiminya sebagai orang aneh, bahkan tidak waras. Julaita nama perempuan itu. Pekerjaan dosen, hobi menjahit dan menulis fiksi, dan sangat sayang pada anak-anak balita, ogah untuk punya bayi sendiri sekalipun sekadar anak dari adopsi.

“Kalau saja kamu seorang lelaki tanpa ditanya dua kali aku akan menyatakan jatuh cinta padamu, lalu mengajakmu untuk pergi ke penghulu.. . . . .!” kata Julaita dengan suara agak gemetar dan mata menerawang jauh.

"Kenapa begitu?" 

“Lelaki yang dulu tega meninggalkanku sangat mirip denganmu. Aku mampu merasakan auramu menyerupai auranya. Caramu bicara, arah pembicaraan, dan terutama caramu mengambil pilihan sulit dalam menghadapi kehidupan. . . . .!”

Wasi meski sangat sering berhadapan dengan pembicaran aneh dengan banyak orang, kali ini tanpa sengaja begitu terjingkat kaget. Sebuah ungkapan yang sangat berterus-terang dan agak sarkas, namun tampak jujur.

Ia bertemu dengan Julaita pada sebuah seminar nasional masalah kegamangan rakyat menghadapi modernitas yang menjajah. Perempuan itu sebagai salah satu pembicara,dan Wasi banyak bertanya dengan kritis.

“Terimakasih atas pujian Ibu, tapi saya sangat jauh dari apa yang ibu persepsikan. Kita baru hari ini bertemu, dan tentu ibu belum tahu persis siapa saya.. . . . !” jawab Wasi merendah dengan senyum malu-malu. Ia coba menyembunyikan semburat merah pada wajahnya yang tiba-tiba merasa jengah oleh pujian itu. “Terimakasih atas pujian Ibu. Tapi mungkin itu terlalu tinggi untuk saya. . . . . .!”

“Ibu sudah lama mengikuti acaramu di televisi, dan aku tidak heran kamu menjadi idola bagi kalangan jelata seperti nama acaramu itu. . . . .!”

Pembicaraan selesai begitu saja. Sebab ibu Julaita disamperin seorang profesor dan mengajaknya ke satu ruangan untuk mendiskusikn satu masalah. Ia melambaikan tangan pada Wasi sambil berucap untuk bertemu kembali suatu ketika nanti,

Wasi tersenyum sendiri dengan kedua tangan masih tegang memegang kemudi. Tanpa terasa jarak tujuan tinggal dekat lagi. Namun masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, yaitu pernyataan bu Julaita : kalau saja kamu seorang lelaki! Ah, apakah aku punya daya tarik kelelakian? Apakah gaya bicara dan sikapku sangat maskulin? Atau jangan-jangan ibu itu memiliki orientasi cinta pada orang sejenis? Hiihhh. Wasi bergidik sendiri ketika membayangkan berbagai perasaan geli, jijik, kotor, dan horor sekaligus.

***

Di Kantor Divisi Berita, Stasiun TV Nayaka, Jalan Jonggring Salaka,  Wasi datang lebih cepat hampir satu jam dari jadwal biasanya.  Ia melangkah lebar-lebar dengan sepatu hak tingginya, anggun dan wangi, memasuki ruang make up. Namun sesegera itu ia teringat harus menemui Mas Dayu dulu. Ia perlu menjelaskan persoalannya kemarin, juga untuk minta maaf atas ketidakhadiran kemarin.

Wasi melewati lorong-lorong, bersebelahan dengan beberapa studio, naik lift ke lantai kedua melewati banyak ruangan diantaranya ruang peralatan teknik, ruang properti, dan ruangan maintenance. Bagian lain pada lantai kedua digunakan untuk perkantoran. Ke sana Wasi melangkah untuk menemui Mas Dayu selaku Produser Acara Bincang Jelata yang mendapat banyak iklan dan apresiasi pemirsa. Acara itu tayang setiap Senin hingga Jum’at mulai pukul 13.05 WIB, dengan durasi satu jam setiap tayangnya.

(bersambung)

Sekemirung-Bandung, 9 April 2016

Sumber gambar: jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun