Pada kesempatan lain Wasi bertemu dengan seorang perempuan setengah tua yang tampak sangat idealis menapaki kehidupan. Penampilannya sanat anggun, modern, namun praktis. Memilih hidup sendiri ia berusaha mendarma-baktikan hidupnya untuk sesuatu yang dianggapnya ideal. Meski tentu banyak orang yang tidak sependapat, dan cenderung menghakiminya sebagai orang aneh, bahkan tidak waras. Julaita nama perempuan itu. Pekerjaan dosen, hobi menjahit dan menulis fiksi, dan sangat sayang pada anak-anak balita, ogah untuk punya bayi sendiri sekalipun sekadar anak dari adopsi.
“Kalau saja kamu seorang lelaki tanpa ditanya dua kali aku akan menyatakan jatuh cinta padamu, lalu mengajakmu untuk pergi ke penghulu.. . . . .!” kata Julaita dengan suara agak gemetar dan mata menerawang jauh.
"Kenapa begitu?"
“Lelaki yang dulu tega meninggalkanku sangat mirip denganmu. Aku mampu merasakan auramu menyerupai auranya. Caramu bicara, arah pembicaraan, dan terutama caramu mengambil pilihan sulit dalam menghadapi kehidupan. . . . .!”
Wasi meski sangat sering berhadapan dengan pembicaran aneh dengan banyak orang, kali ini tanpa sengaja begitu terjingkat kaget. Sebuah ungkapan yang sangat berterus-terang dan agak sarkas, namun tampak jujur.
Ia bertemu dengan Julaita pada sebuah seminar nasional masalah kegamangan rakyat menghadapi modernitas yang menjajah. Perempuan itu sebagai salah satu pembicara,dan Wasi banyak bertanya dengan kritis.
“Terimakasih atas pujian Ibu, tapi saya sangat jauh dari apa yang ibu persepsikan. Kita baru hari ini bertemu, dan tentu ibu belum tahu persis siapa saya.. . . . !” jawab Wasi merendah dengan senyum malu-malu. Ia coba menyembunyikan semburat merah pada wajahnya yang tiba-tiba merasa jengah oleh pujian itu. “Terimakasih atas pujian Ibu. Tapi mungkin itu terlalu tinggi untuk saya. . . . . .!”
“Ibu sudah lama mengikuti acaramu di televisi, dan aku tidak heran kamu menjadi idola bagi kalangan jelata seperti nama acaramu itu. . . . .!”
Pembicaraan selesai begitu saja. Sebab ibu Julaita disamperin seorang profesor dan mengajaknya ke satu ruangan untuk mendiskusikn satu masalah. Ia melambaikan tangan pada Wasi sambil berucap untuk bertemu kembali suatu ketika nanti,
Wasi tersenyum sendiri dengan kedua tangan masih tegang memegang kemudi. Tanpa terasa jarak tujuan tinggal dekat lagi. Namun masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, yaitu pernyataan bu Julaita : kalau saja kamu seorang lelaki! Ah, apakah aku punya daya tarik kelelakian? Apakah gaya bicara dan sikapku sangat maskulin? Atau jangan-jangan ibu itu memiliki orientasi cinta pada orang sejenis? Hiihhh. Wasi bergidik sendiri ketika membayangkan berbagai perasaan geli, jijik, kotor, dan horor sekaligus.
***