Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua # Bab III – Satu

9 April 2016   13:29 Diperbarui: 11 April 2016   00:36 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bukan. Kenapa?”

“Mungkin di Fakultas Ekonomi?”

“Bagaimana kamu tahu?”

“Hanya menebak. . . . . .! Aku menghargai sensitivitasmu, sebab di mataku banyak kawan-kawan etnis Tionghoa yang merasa diri superior karena penguasaan ekonomi. Bersamaan dengan itu merasa terus terancam karena minoritasnya. Dan dua hal itu yang menjadi sebab bersikap ekslusif dan serba curiga pada lingkungan. Dan bukankah hal ini yang berpuluh-puluh tahun menjadi semacam penyekat untuk gampang berbaur. Namun hal itu tidak kulihat melekat pada sosokmu. . . . . .!” kata Bang Pawitra dengan suara rendah, terdengar sangat hati-hati agar tidak ditafsirkan salah.

Wasi tidak segera menjawab. Ia termenung beberapa saat sambil meresapi makna kata-kata lawan bicaranya itu. Ada terasa beberapa kebenaran di sana, namun selebihnya memang sebuah pendapat umum yang mesti dikaji dan tidak diartikan negatif. Sebab toh setiap suku maupun etnis di negeri ini punya ciri dan kecenderungan tertentu, baik untuk modal mempererat kesatuan dan persatuan bangsa maupun sebaliknya sebagai potensi konflik.

“Jadi inti dari pembicaraan kita ini apa sebenarnya, Bang?”

“Kamu menjadi sosok yang berbeda. Dan bisa makin banyak orang yang mampu menepis anggapan umum yang tidak tepat, cenderung apriori, dan apalagi salah; maka itulah benih subur untuk merajut keindonesiaan yang lebih kuat ke depan. . . . .!”

“Begitu heroiknya?”

“Ya, terlebih dalam peranmu sebagai seorang host acara di televisi, sebagai public figure, dan berbagai peran lain yang terkait dengan hal itu . . . . .!”

Wasi merasakannya sebagai sebuah dialog yang bernas, kadang bahkan terasa manis, dan itu selalu diingatnya sebagai pemacu semangat  dalam berkarya. Dalam kondisi penat, buntu, dan sering dilanda keinginan menyerah, Wasi mengingat nama Bang Pawitra. Bukan karena ganteng dan punya pesona luar biasa di depan sosok perempuan, tetapi semata pengamatannya yang tajam untuk mampu menyelami dasar perasaan wanita.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun