“Bukan. Kenapa?”
“Mungkin di Fakultas Ekonomi?”
“Bagaimana kamu tahu?”
“Hanya menebak. . . . . .! Aku menghargai sensitivitasmu, sebab di mataku banyak kawan-kawan etnis Tionghoa yang merasa diri superior karena penguasaan ekonomi. Bersamaan dengan itu merasa terus terancam karena minoritasnya. Dan dua hal itu yang menjadi sebab bersikap ekslusif dan serba curiga pada lingkungan. Dan bukankah hal ini yang berpuluh-puluh tahun menjadi semacam penyekat untuk gampang berbaur. Namun hal itu tidak kulihat melekat pada sosokmu. . . . . .!” kata Bang Pawitra dengan suara rendah, terdengar sangat hati-hati agar tidak ditafsirkan salah.
Wasi tidak segera menjawab. Ia termenung beberapa saat sambil meresapi makna kata-kata lawan bicaranya itu. Ada terasa beberapa kebenaran di sana, namun selebihnya memang sebuah pendapat umum yang mesti dikaji dan tidak diartikan negatif. Sebab toh setiap suku maupun etnis di negeri ini punya ciri dan kecenderungan tertentu, baik untuk modal mempererat kesatuan dan persatuan bangsa maupun sebaliknya sebagai potensi konflik.
“Jadi inti dari pembicaraan kita ini apa sebenarnya, Bang?”
“Kamu menjadi sosok yang berbeda. Dan bisa makin banyak orang yang mampu menepis anggapan umum yang tidak tepat, cenderung apriori, dan apalagi salah; maka itulah benih subur untuk merajut keindonesiaan yang lebih kuat ke depan. . . . .!”
“Begitu heroiknya?”
“Ya, terlebih dalam peranmu sebagai seorang host acara di televisi, sebagai public figure, dan berbagai peran lain yang terkait dengan hal itu . . . . .!”
Wasi merasakannya sebagai sebuah dialog yang bernas, kadang bahkan terasa manis, dan itu selalu diingatnya sebagai pemacu semangat dalam berkarya. Dalam kondisi penat, buntu, dan sering dilanda keinginan menyerah, Wasi mengingat nama Bang Pawitra. Bukan karena ganteng dan punya pesona luar biasa di depan sosok perempuan, tetapi semata pengamatannya yang tajam untuk mampu menyelami dasar perasaan wanita.