Sementara tiga orang itu bingung dengan pikiran masing-masing, dua orang muda mendekati Arjo. Seoang pemuda berbisik sesuatu dan mengajak Arjo menjauh dari pangkalan ojek. Teman-teman Arjo maklum, mungkin ada urusan penting.
Arjo menurut saja. Di benaknya segera terpikir soal rezeki. Jangan-jangan ada produser yang mengajaknya main teater lagi, atau malah main sinetron. Dalam kondisi pailit seperti sekarang ini pekerjaan apapun dirasakan bakal menjadi anugerah baginya.
“Ini soal bisnis, Bang. Kita cari tempat aman supaya tidak ada orang menguping. , , , ,!” ujar si pemuda berkemeja rapi lengan panjang. Wajahnya halus, sopan, namun tatapan matanya kelewat tajam.
“Apakah kita sudah pernah saling bertemu? Setidaknya aku perlu tahu kalian kenal aku dari mana?” jawab Arjo dengan penuh harap.
Kedua orang muda itu tidak segera menjawab. Arjo diajak menyeberang jalan, agak jauh, hingga kembali ke jalan Mangku Bagja. Dan di sana sebuah mobil minibus warna hitam buatan Jepang, dengan sopir sudah menunggu. Arjo tiba-tiba merasakan firasat buruk. Namun segalanya begitu ce[at terjadi, dan ia terlambat berreaksi. Kedua pemuda itu setengah menyeret tubuh Arjo yang tinggi-besar masuk ke dalam mobil itu.
“Jadi ini bukan soal bisnis?” seru Arjo sambil mencoba cari akal untuk berdalih.
“Urusan bisnis.. . . .!”
“Bisnis apa? Kenapa harus dengan kekerasan seperti ini?”
“Biarlah bos kami nanti yang menjelaskan!” ujar si pemuda rambut keriting sambil menyentakkan pintu untuk menutupnya.
“Siapa?”
Mesin mobil distater, dan dalam seketika mobil melesat. Menghambur diantara lalu-lintas siang yang ramai dan padat, bising dan menjengkelkan. Terlebih juga hati Arjo, ia tidak sempat memberikan pesan apa-apa kepada teman-temannya di pangkalan tadi. Kalau saja ia memberikan isyarat tanda bahaya seperti yang telah dipelajari setiap pengojek baru, maka akan ada usaha untuk penyelamatan. Tapi ini bahkan mereka tidak tahu kalau aku digelandang oleh orang tak dikenal.