Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua # Bab II

5 April 2016   02:39 Diperbarui: 5 April 2016   08:26 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pangkalan ojek di jl pinangsia raya jkt"][/caption]Empat

Kalau harus berjalan kaki, jarak yang  ditempuh masih jauh. Bahkanbila melewati beberapa jalan pintas. Kalau saja menggunakan sepeda bakal tidak terasa. Apalagi gowesan sepeda tua miliknya memang nyaman.

Sambill berjalan Arjo membayangkan sepedanya. Sepeda itu merek Gasele dengan sadel kulit lembu tebal. Boncengannya diberi lapisan busa agar orang yang menyewa ojek merasa nyaman duduk. Selain itu masih terpasang berko –lampu depan- antik- sekedar untuk penanda kalau berpapasan dengan kendaraan lain pada malam hari. Segenap ondirlan lain masih utuh, dan rajin dibersihkan, jua diberi oli pada bagian-bagian tertentu sehingga mengkilap dan nyaman dikendarai.

Pikiran Arjo melancong kemana-mana. Dan setiap kali pikirannya tertambat pada nasib buruk sepeda tuanya maka hatinya sedih.

Sepeda itu peninggalan bapaknya yang seorang pedagang beras keliling. Dibawanya dari desa nunjauh di sana dengan susah-payah. Sebenanrya sepeda itu masih dipergunakan suami dari adik perempuannya, Sarni, yang hidup  melarat. Suami Sarni  seorang penggembala kambing.

“Sepeda itu sudah menjadi bagian dari diriku, Mas. Dengan sepeda itu Kang Sairun suamiku mencari dan mengangkut rumput. Dengan sepeda itu pula ia sering membawa beberapa ekor kambing ke padang rumput untuk digembalakan. Atau untuk membawa kambing ke pasar untuk dijual. Kini Mas Arjo mau membawa sepeda itu ke kota. . . .!” kata Sarni dengan wajah memelas.

Mendung di langit di atas Bukit Menoreh makin tebal. Sebentar lagi pasti turun hujan, dan rumah Sarni yang kecil, sederhana, dan beratap seng di pinggir sungai itu bakal kebanjiran bila aliran air di bantaran meluap.

“Akan kuganti nanti, aku janji. Tapi tidak sekarang. Bukan ganti sepeda onthel melainkan sepeda motor biar yang tahun-tahun tuanya. Jangan sedih begitu.. . . . .!” jawab Arjo sambil tak yakin apa betul ia bakal mampu mengganti. Jawaban itu sekadar untuk menenangkan hati adiknya, dan tidak ada niat menipu.

Arjo melirik  taarloji dipergelangan ngan. Sudah waktunya. Ia harus buru-buru pergi agar bisa mencapai stasiun kereta api sebelum adzan maghrib berkumandang. Terlebih juga ia tidak mau terhanyut pada kesediah adiknya.

 “Janji ya, Mas?” desak Sarni disertai lelehan air mata menahan tangis.

“Ya, janji!” kata Arjo sambil membuka dompet, dan meninggalkan selembar uang berwarna merah. “Doakan aku agar pekerjaanku menghasilkan banyak uang. Hingga janji membelikan sepeda motor tua itu cepat terkabul. . . . .!”

“Aamiinnn. . . .! Terimakasih, Kang. ” sambut Sarni bersemangat. Wajah polos itu mengingatkan Arjo pada Simboknya yang selalu berpesan wanti-wanti. “Jadilah orang jujur meski hidup melarat. Jadinya orang bekerja keras dan disiplin meski hasilnya tak seberapa. Dan lebh dari itu hormati orang lain siapapun dia, tanpa harus melebih-lebihkan, agar kamu ganti dihormati orang-orang di sekelilingmu. . . . .!”

Diseretnya sepeda tua itu ke luar halaman rumah. Beberapa puluh meter ke depan ia mencengklak ke atas sepeda, dan mendudukkan pantatnya di sadel. Dengan sepeda yang tampak tak terurus itu ia memastikan perjalanan ke stasiun menjadi lebih cepat.

Tiga bulan sudah berlalu sejak ia membawa sepeda itu. Dan kini, jangankan mampu membeli sepeda motor tua, modal sepedanya pun sudah remuk diseruduk mobil orang yang baru belajar mengemudi. Sedih kalau harus dirasa-rasakan. Tidak terasa mata Arjo berkaca-kaca. Lalu kisah lain muncul. Dulu waktu banyak pekerjaan sebagai orang panggung tidak pernah terpikirkan untuk membantu kesulitan adik perempuannya itu. Kini saat keuangan payah baru terbuka pikiran. . . .

Arjo sampai di pinggir jalan raya. Lalu-lintas  dari dua arah. Ia harus hati-hati menyeberang. Di depan sana gang-demi gang sudah menunggunya. Semangatnya masih besar untuk terus berjalan, namun tenaga dan kondisi tubuh tuanya tidak memungkinkan. Hampir satu jam tadi ia berjalan, hingga keringat menetes di kening. Rongga mulut terasa kering dan pahit.

Arjo terduduk di bangku semen di kaki lima dekat perempatan jalan. Ketika sebuah bus kota lewat dan berhenti di halte Patung Sepatu. Arjo bersegera melompat ke dalamnya dengan kaki diseret. Ia sempat berbisik pada kondektur agar digratiskan sampai tujuan.

“Tapi jangan beraksi di sini, Bang!” balas kondektur dengan desis yang dikeraskan.

“Apa kamu bilang?”

“Jangan beraksi di sini”

“Oh, kukira janganmenangis di sini! Bagaimana kamu tahu aku seorang pemain teater? Kala muda beberapa kali aku berteriak-teriak membaca sajak cinta di atas bus kota. Sekadar untuk melatih fisik dan mental. Tapi kalau ada yang menyodorkan receh ya kuterima. . . . .!” sahut Arjo dengan masih berbisik.

Angin berkesiur di sisi bus. Goncangan akibat jalan berlubang dan kondisi bus yang tua membuat aneka bunyi riuh berkelontangan. Bus penuh penumpang, berhenti di halte depan. Beberapa penumpang naik, berdesakan. Besamaan itu sejumlah penumpang lain turun. Pada kesempatan itulah para pencopet beraksi. Ya, itulah yang dimaksud Pak Kondektur ”jangan beraksi di sini. . . . .!”

Arjo tersenyum diam-diam. Beberapa halte terlewati, jaraknya sudah belasan kilo, arjo turun. Di depan halte di ujung Jalan Mangku Bagja yang bersebelahan dengan jalan Kelabang Hitam tempat pangkalan ojek sepeda onthel.

“Ok Bos, lain kali aku beraksi kalau sudah dapat izin komandan! Hati-hati, jangan ngebut. . . . .!” teriak Arjo begitu kaki kanannya turun dari bus, dan menginjak aspal, untuk kemudian berlari tertatih-tatih menyeberangi jalan menuju pangkalan.

 ***

Pangkalan tidak seramai biasanya. Dua pengojek duduk menikmati asap rokok, yang lain tersandar di bangka dengan mata dipejamkan. Sementara Santos dan Mang Lukimin terlihat asyik bermain catur. Mereka duduk di lantai dengan beralaskan koran.

Di sisi pangkalaran beberapa sepeda yang berjalan rapi di sandarkan. Jalanan di depan padat merayap susul-menyusul, rapat dan antri seperti setiap kali, seperti ada penghalang di depan sana.

Arjo menduga banyak penumpang yang butuh jasa pengojek sepeda onthel. Tapi mungkin juga karena alasan  lain. Belakangan ada tren anak-anak muda untuk menggunakan sepeda onthel antik di situ. Bukan untuk perjalanan ke kantor atau ke tempat lain dalam berbagai urusan yang mendesak. Tapi semata untuk selfie, untk memajang di diri di depan kamera, sebagai bagian dari cara memperlihatkan ke-eksis-an. Ada juga bahkan yang membawa pasangan mereka. Sepeda disewa untuk satu atau dua jam.

Mereka berputar-putar cari suasana dan layar-belakang yang dinilai artistik untuk berfoto, untuk kemudian mengunggahnya ke media online. Mungkin ada diantara mereka yang terinspirasi dari film-film lama, atau bahkan mungkin mereka mendapatkan cerita romantik dari orang-orang tua mereka kala berkuliah di kota pedalaman dengan masih mengendarai sepeda onthel. Jangan kata pasangan ganteng dan cantik, pasangan lain yang kurang serasi dan kurang memadai penampilannya pun tak ragu untuk rajin memajang foto diri mereka di sana.

“Bang Arjo. . . . .!” teriak Santos dari kejauhan, sambil melambaikan tangan.

Ajo tergagap dari lamunan. Pandangannya diarahkan ke panggalan ojek, terutama pada Santos. Sesampai di seberang jalan dari tadi ia hanya berdiri mematung sambil mengamati suasana sekeliling dengan pikiran kemana-mana.

“Apa yang kamu lakukan di situ? Sudah sembuhkah?” seru Mang Lukimin sambil menoleh sebentar untuk kemudian kembali ke papan catur.

Arjo berjalan mendekat. Menebar senyum, dan ganti melambaikan kedua tangan, serupa oang hendak memeluk sesuatu. begitu dekat pangkalan Arjo lebih dulu memberi salam. 

”Abang sudah tahu ada teman kita yang celaka kemarin?” cetus Santos tanpa mengalihkan pandangan dari bidak yang diincarnya untuk dimakan. “Cerita orang kejadiannya cukup parah. Sepeda remuk. Pengemudi dan yang dibonceng dibawa ke rumah sakit, tentu parah sakitnya.. . . .!”

Arjo berpura terkejut, dan menimpali. “Ah, kecelakaan? Pasti teman kita juga yang tertimpa musibah itu. .. . .! Tapi ngomong-ngomong bukankah peristiwa itu ramai juga di media online!”

“Abang sudah membacanya?” kejar Santos dengan serius,

“Baca sendirilah, kamu ‘kan punya smartphone juga. Supaya lebih jelas kalau mau bercerita kepada orang lain soal itu. . . . .!”  jawab Arjo.

Mang Lukimin saking tak dapat menahan geli sampai ngakak terguling-guling. sejenak ia tidak memperhatikan papan catur di depannya. “Hahaha. . . . kalian berdua memang pantas jadi pemain watak dalam sandiwara tradisional dengan judul Si Budeg dan Si Tolol. . . . .hahaha!”

“Skak mat. . . . .!” seru Santos dengan rasa kegirangan yang begitu besar. Ucapan itu menghentikan tawa Mang Lukimin seketikga. disertai rasa kaget, dan tak percaya. “Eh, bagaimana mungkin begini? Kamu curang ya?”

“Curang? Masak main catur tanpa taruhan saja mesti main curang?” tangkis Santos dengan setengah mengejek.

“Tadi waktu aku terguling-guling kegelian kamu pasti memindahkan letak benteng. Lalu tiba-tiba kamu melakukan skak mat begini. . . . . .!” keluh Mang Lukimin.

Giliran Santos yang terguling-guling menahan tertawa. Lalu ia berdiri dan hendak memeluk Arjo yang kebingungan karena berpikir bagaimana cara melerai keduanya kalau betul mereka gelut, duel model gulat gaya kuno. Tapi tidak ternyata. Agaknya Santos tak kurang akal untuk berlagak bloon dalam dialog soal kecelakaan tadi. Hingga Mang Lukimin hampir mati kegelian, dan itu menjadi kesempatan Santos untuk mempraktekkan akal bulus.

Arjo mengelus dada dengan rasa plong. Dipeluknya lelaki itu dengan perasaan bingung memikirkan sandiwara apa yang baru saja mereka lakonkan tadi.

“Lain kali hati-hatilah kalau mengemudi sepeda. Pikiran dan ubuh harus fokus pada pekerjaan, bukan pada yang lain-lain. . . . . Akibatnya apa? Dikira aku belum baca berita di media online ya? Tapi dengan begitu Abang jadi terkenal sejagad raya lho. Siapa tahu dengan modal itu bisa masuk ke acara Bincang Jelata. . . .wah hebat!”

 

Sementara tiga orang itu bingung dengan pikiran masing-masing, dua orang muda mendekati Arjo. Seoang pemuda berbisik sesuatu dan mengajak Arjo menjauh dari pangkalan ojek. Teman-teman Arjo maklum, mungkin ada urusan penting.

Arjo menurut saja. Di benaknya segera terpikir soal rezeki. Jangan-jangan ada produser yang mengajaknya main  teater lagi, atau malah main sinetron. Dalam kondisi pailit seperti sekarang ini pekerjaan apapun dirasakan bakal menjadi anugerah baginya.

“Ini soal bisnis, Bang. Kita cari tempat aman supaya tidak ada orang menguping. , , , ,!” ujar si pemuda berkemeja rapi lengan panjang. Wajahnya halus, sopan, namun tatapan matanya kelewat tajam.

“Apakah kita sudah pernah saling bertemu? Setidaknya aku perlu tahu kalian kenal aku dari mana?” jawab Arjo dengan penuh harap.

Kedua orang muda itu tidak segera menjawab. Arjo diajak menyeberang jalan, agak jauh, hingga kembali ke jalan Mangku Bagja. Dan di sana sebuah mobil minibus warna hitam buatan Jepang, dengan sopir sudah menunggu. Arjo tiba-tiba merasakan firasat buruk. Namun segalanya begitu ce[at terjadi, dan ia terlambat berreaksi. Kedua pemuda itu setengah menyeret tubuh Arjo yang tinggi-besar masuk ke dalam mobil itu.

“Jadi ini bukan soal bisnis?” seru Arjo sambil mencoba cari akal untuk berdalih.

“Urusan bisnis.. . . .!”

“Bisnis apa? Kenapa harus dengan kekerasan seperti ini?”

“Biarlah bos kami nanti yang menjelaskan!” ujar si pemuda rambut keriting sambil menyentakkan pintu untuk menutupnya.

“Siapa?”

Mesin mobil distater, dan dalam seketika mobil melesat. Menghambur diantara lalu-lintas siang yang ramai dan padat, bising dan menjengkelkan. Terlebih juga hati Arjo, ia tidak sempat memberikan pesan apa-apa kepada teman-temannya di pangkalan tadi. Kalau saja ia memberikan isyarat tanda bahaya seperti yang telah dipelajari setiap pengojek baru, maka akan ada usaha untuk penyelamatan. Tapi ini bahkan  mereka  tidak tahu kalau aku digelandang oleh orang tak dikenal.

Semenara mobil melaju mata Arjo ditutup dengan lakban. Kedua tangan diikat dengan tali rafia ke belakang. Dan ia ditidurkan di jok tengah. 

“Siapa?” teriak Arjo sekali lagi dengan geram. Namun suara itu tidak mampu mengupas lakban dari mulutnya.

Tapi seketika itu mulutnya pun disumpal dengan lakban. Mobil berlari ke kiri dan kanan, membelok, lurus. hanya lubang telinga dan lubang hidung saja yang tidak dilakban. Arjo cuma mengenali sekeliling dengan menajamkan pendengaran. tanpa semua serba membingungkan. Diluar mobil yang ditumpanginya terdengar raungan sirine mobil ambulance, klakson motor dan mobil bersahutan, deru suara knalpot bocor, lalu mobil berhenti di perlintasan kereta api.Arjo tidak dapat berbuat apa-apa selain segera dapat menyimpulkan siapa dibelakang pelaku penculikan ini. . . . . . (bersambung)

Bandung, 5 April 2016

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun