“Ok Bos, lain kali aku beraksi kalau sudah dapat izin komandan! Hati-hati, jangan ngebut. . . . .!” teriak Arjo begitu kaki kanannya turun dari bus, dan menginjak aspal, untuk kemudian berlari tertatih-tatih menyeberangi jalan menuju pangkalan.
***
Pangkalan tidak seramai biasanya. Dua pengojek duduk menikmati asap rokok, yang lain tersandar di bangka dengan mata dipejamkan. Sementara Santos dan Mang Lukimin terlihat asyik bermain catur. Mereka duduk di lantai dengan beralaskan koran.
Di sisi pangkalaran beberapa sepeda yang berjalan rapi di sandarkan. Jalanan di depan padat merayap susul-menyusul, rapat dan antri seperti setiap kali, seperti ada penghalang di depan sana.
Arjo menduga banyak penumpang yang butuh jasa pengojek sepeda onthel. Tapi mungkin juga karena alasan lain. Belakangan ada tren anak-anak muda untuk menggunakan sepeda onthel antik di situ. Bukan untuk perjalanan ke kantor atau ke tempat lain dalam berbagai urusan yang mendesak. Tapi semata untuk selfie, untk memajang di diri di depan kamera, sebagai bagian dari cara memperlihatkan ke-eksis-an. Ada juga bahkan yang membawa pasangan mereka. Sepeda disewa untuk satu atau dua jam.
Mereka berputar-putar cari suasana dan layar-belakang yang dinilai artistik untuk berfoto, untuk kemudian mengunggahnya ke media online. Mungkin ada diantara mereka yang terinspirasi dari film-film lama, atau bahkan mungkin mereka mendapatkan cerita romantik dari orang-orang tua mereka kala berkuliah di kota pedalaman dengan masih mengendarai sepeda onthel. Jangan kata pasangan ganteng dan cantik, pasangan lain yang kurang serasi dan kurang memadai penampilannya pun tak ragu untuk rajin memajang foto diri mereka di sana.
“Bang Arjo. . . . .!” teriak Santos dari kejauhan, sambil melambaikan tangan.
Ajo tergagap dari lamunan. Pandangannya diarahkan ke panggalan ojek, terutama pada Santos. Sesampai di seberang jalan dari tadi ia hanya berdiri mematung sambil mengamati suasana sekeliling dengan pikiran kemana-mana.
“Apa yang kamu lakukan di situ? Sudah sembuhkah?” seru Mang Lukimin sambil menoleh sebentar untuk kemudian kembali ke papan catur.
Arjo berjalan mendekat. Menebar senyum, dan ganti melambaikan kedua tangan, serupa oang hendak memeluk sesuatu. begitu dekat pangkalan Arjo lebih dulu memberi salam.
”Abang sudah tahu ada teman kita yang celaka kemarin?” cetus Santos tanpa mengalihkan pandangan dari bidak yang diincarnya untuk dimakan. “Cerita orang kejadiannya cukup parah. Sepeda remuk. Pengemudi dan yang dibonceng dibawa ke rumah sakit, tentu parah sakitnya.. . . .!”