Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua #Bab II

29 Maret 2016   13:18 Diperbarui: 30 Maret 2016   17:42 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="rumah asriku"][/caption]

Dua

Tapi pasti tidak ada kata takut dalam kamus hidupnya. Semua itu merupakan kelanjutan dari kata nekat yang selama ini melekat kuat pada sifat dan pembawaan dirinya. Takut tidak takut, nekat atau tidak nekat, akibatnya toh akan sama: hidup harus dijalani dengan sepenuh hati! Tidak harus menyisakan rasa ragu, kelaupun kemudian terbukti langkah yang diambil kurang tepat bahkan salah. Pada sisi lain usia bukan hambatan. Justru makin tua niscaya semakin matang untuk urusan apapun dengan bermodal berani dan nekat itu. . . . .

 

Meski masih merasakan sakit pada beberapa bagian tubuh tubuh, Arjo Kemplu si gaek yang jangkung itu memaksakan diri untuk berangkat. Prinsipnya teguh, urusan apapun harus dihadapi dengan sikap jantan dan tangguh. Seperti juga pilihannya untuk menjadi tukang ojek, semata untuk satu tujuan yang belum pasti: mendekati cewek cantik.

 

Ia mandi sedukupnya, dengan sisa air yang ada. Membuang semua sisa keringat dan kotoran yang melekat di tubuh. Terutama juga membasahi rambut kelabu memanjang. Gosok gigi dengan beberapa diantaranya ompong, dan menyisakan gusi. Mencukur kumis dan jenggot yang mulai memanjang, agar kelihatan ketampanan wajah asli yang mulai memudar digerogoti kalender yang setia tanggal setiap hari. Ketampanan yang dibalut kegarangan.

“Umur tua sering menghadirkan kebosanan. Tapi tidak untuk yang mampu membuat hari-harinya selalu berbeda, dan hari ini hariku betul berbeda. Dengan tubuh sakit dan luka, serta tanpa sepeda, aku harus melanjutkan hariku dengan cara yang berbeda.. . . .!” gumam Arjo sambil mengeringkan tubuh dengan handuk warna biru muda yang mulai kusam dipudarkan sinar matahari.

 

Arjo tidak mungkin menggunakan sepeda onthelnya lagi. Barang itu sudah jadi rongsok, ditinggalkannya di tukang reparasi sepeda. Pasti bakal banyak ongkosnya kalau selesai, sebab banyak onderdil harus diganti. Membeli sepeda serupa pasti lebih gampang dan murah. Dengan uang dua atau tiga juta rupiah pasti sudah dapat. Tapi uangnya dari mana?

 

Dengan jean belel, kaos oblong lengan panjang hitam, Arjo bergegas ke luar pintu. Mengunci pintu kamar kontrakan itu dengan kecekatan seorang lelaki tanpa beban pikiran apapun. Ia melangkah di teritisan belakang rumah untuk melewati beberapa kamar kontrakan lain. Namun secepat itu sebuah teguran menyambar telinganya.

 

“Katanya lagi sakit? Mau pergi juga, Bang? Di mana sepedanya?” seru Tante Martje tiba-tiba di belakang punggung Arjo.

 

Lelaki itu menoleh cepat. Berpikir keras untuk menghindar. Namun seperti setiap kali, ia terjebak pada pembicaraan yang sulit dihindari. Perempuan gemuk sekitar 45 tahun itu mencolek pinggang dengan keras.

 

“Ada urusan penting dan gawat ini, Tante. Aku harus pergi. Sepeda ringsek, ada di bengkel sepeda. Kemarin aku ketimpa musibah. Sebuah mobil main nyelonong saja, hingga sepedaku remuk. Untung aku dan seorang perempuan yang membonceng selamat, meski ada memar dan luka di sana-sini. . . . .!” Arjo menjelaskan singkat, untuk segera beranjak.

 

“Tunggu! Kecelakaan bagaimana?”

 

“Ya, begitu itu tadi cerita singkatnya. Aku harus menemui Haji Lolong, bapak dari perempuan yang kubonceng kemarin. Entah apa yang dimauinya. Bagaimana kabar Om Robby hari ini?” Arjo segera mengalihkan pembicaraan.

 

“Om Robby, seperti biasa. Selalu merepotkan, tapi ya namanya suami, serepot apapun isteri dibuatnya tidak boleh berlari ke lain hati. . . . .!” Tante Martje terkekeh seraya menyadari tiba-tiba ada ucapan yang meluncur tanpa disadari.

 

“Ke lain hati bagaimana? Seperti cerita di sinetron ya?” Arjo mengejar.

 

“Ya, nonton saja di sinetron. Apa saja alasan seorang isteri harus berpaling, sebab jika tidak maka para penulis skenario bakal kehilangan akal untuk memperpanjang-panjang cerita hingga ribuan episode itu. . . . .!” jawab Tante Martje sambil diam-diam memperhatikan penampilan Arjo yang  tetap gagah dan menarik hatinya. “Kok jadi ngelantur soal sinetron. Oya, tadi ngomongin soal Haji Lolong? Apa maksudmu Haji Lolong itu seorang keturunan Tionghwa bernama Bian Lie Ong?”

 

‘’Bagaimana Tante tahu?”

 

“Ia kawan Om Robby dalam bisnis batu mulia. Orangnya sangat keras dan tidak mengenal kompromi untuk apa yang dimauinya. Kamu harus hati-hati, apalagi persoalanmu terkait dengan kecelakaan. Oya, sampaikan salamku dan Om Robby untuknya, mungkin ia masih ingat kami. . . . . .!”

 

“Oke, kusampaikan nanti. Permisi ya. . . . .!”

 

“Hati-hati, Bang. . . . .!” seru perempuan gemuk itu sambil melambaikan tangan.

 

“Ah, perhatian sekali, Tante. Tidak sekalian diberi bekal uang untuk naik bajaj. . . . .heheh?” ujar Arjo sambil melangkah cepat, lengannya diangkat dan tangannya melambai tanpa menoleh. Matahari makin tinggi, udara panas menebar, dan titik keringat mulai menyembul di tiap pori lipatan kulit. Arjo mau langsung menuju ke alamat yang ditunjuk Haji Lolong untuk bertemu.  Tapi sejenak terbersit pikiran untuk singgah dulu ke pangkalan ojek sepeda onthel tempatnya mangkal. Setidaknya perlu pamit pada sesama tukang ojek di sana. Sebagai bentuk solidaritas. Siapa tahu mereka punya usulan baik langkah apa yang mesti dilakukannya.

(Bersambung)

 Bandung, 29 Maret 2016

Sumber gambar : rumah

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun