Dengan jean belel, kaos oblong lengan panjang hitam, Arjo bergegas ke luar pintu. Mengunci pintu kamar kontrakan itu dengan kecekatan seorang lelaki tanpa beban pikiran apapun. Ia melangkah di teritisan belakang rumah untuk melewati beberapa kamar kontrakan lain. Namun secepat itu sebuah teguran menyambar telinganya.
“Katanya lagi sakit? Mau pergi juga, Bang? Di mana sepedanya?” seru Tante Martje tiba-tiba di belakang punggung Arjo.
Lelaki itu menoleh cepat. Berpikir keras untuk menghindar. Namun seperti setiap kali, ia terjebak pada pembicaraan yang sulit dihindari. Perempuan gemuk sekitar 45 tahun itu mencolek pinggang dengan keras.
“Ada urusan penting dan gawat ini, Tante. Aku harus pergi. Sepeda ringsek, ada di bengkel sepeda. Kemarin aku ketimpa musibah. Sebuah mobil main nyelonong saja, hingga sepedaku remuk. Untung aku dan seorang perempuan yang membonceng selamat, meski ada memar dan luka di sana-sini. . . . .!” Arjo menjelaskan singkat, untuk segera beranjak.
“Tunggu! Kecelakaan bagaimana?”
“Ya, begitu itu tadi cerita singkatnya. Aku harus menemui Haji Lolong, bapak dari perempuan yang kubonceng kemarin. Entah apa yang dimauinya. Bagaimana kabar Om Robby hari ini?” Arjo segera mengalihkan pembicaraan.