Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Syair Syiar: Kopi Lama dalam Cangkir Baru

6 Maret 2016   15:30 Diperbarui: 6 Maret 2016   15:48 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 [caption caption="Gambar sampul oleh Jeihan"][/caption]

Apresiasi "SYAIR SYIAR":

KOPI LAMA DALAM CANGKIR  BARU

cATATAN PENGANTAR

Bulan September 2015 saya menerima kiriman 70 "Syair Syiar", dari sahabat lama, Anton de Sumartana, biasa dipanggil ADS, seorang penulis kreatif yang mukim di Bogor. Ia mengaku syair-syair yang disusunnya adalah "puisi kreasi baru". Ketika kami berkunjung ke Studio Jeihan di Pasirlayung Padasuka Bandung, Anton menodong Jeihan, sang pelukis itu untuk membuatkan sampul depan karya tulis itu. Lalu Jeihan menggambar sketsa wajah Antor, dan di atasnya ditulis "SYAIR SYIAR". Pada bulan Februari 2016 buku itu diterbitkan oleh Penerbit Radya Juara, Bogor, setelah mendapatkan hak paten dari Kementerian Hukum dan HAM RI, terdaftar No: 00201503166. Sebelumnya saya diminta memberi ulasan terhadap 70 syari syiar itu.  Berikut ini catatan saya.

                                                                                                        

aut prodesse volunt aut delectare poetae

aut simul et iucunda et idonea discere vitae

 (tujuan penyair ialah  berguna atau memberi nikmat, atau pun sekaligus

mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan).

 Horatius dalam Ars Poetica

 Pendekatan pragmatik terhadap karya sastera berdasarkan pada teori Horatius, - Ars Poetica, yang ditulis pada tahun 14 sebelum Masehi, -  hingga kini masih banyak dilakukan orang. Tugas atau fungsi penyair dalam menciptakan karya-karya syairnya, menurut sasterawan Roma itu, harus menggabungkan  secara bersama-sama unsur dulce (enak) dan utile (bermanfaat). Dulce berkaitan dengan masalah estetika, sedangkan utile berkaitan dengan masalah moralitas. Penyair yang menghasilkan karya, harus enak (dibaca) dan bermanfaat (bagi masyarakat). Dengan kata lain setiap karya sastera (seni) yang hadir, sebaiknya memberikan kenikmatan kepada pembaca atau siapa pun yang dapat menangkapnya lewat indera, dan sekaligus juga berguna bagi masyarakat pada umumnya.

 

Tujuh puluh Syair Syiar

Dengan berbagai pendekatan itu, mari sekarang kita menjelujuri Syair Syiar karya Anton de Sumartana (ADS) yang tercipta pada paruh kedua di tahun 2015.

Gagasan awal proses kreatif dalam memunculkan syair ini bermula saat menunggu sahur di bulan puasa silam seperti yang ditulisnya dalam “Catatan (luar) Kepala”. Ia mengotak-atik rumus  kreatif: 4 5, 17, 8. (empat dan lima, tujuhbelas dan delapan). Ia menyebutnya Syair Kata Sukukata kemudian berkembang dalam memori “mencerdas ulang, dengan misi utama membelai spiritual dan irama kasih berbangsa”.

Meskipun bagai mainan anak-anak mengotak atik kata-kata, namun  dalam melambungkan kreativitasnya,  ia  menggali memori,  mengolah spiritual dan lahirlah “rumus kreatif”  4 5, 17, 8. Empat baris dalam satu bait, atau empat baris terbuat dari dua bait. Baris pertama, terdiri 4 suku kata. Supaya lebih luas makna diupayakan terdiri dua kata. Baris kedua, terdiri 5 kata, utuh dari kata gabungan suku kata.  Baris ketiga, terdiri 17 suku kata sepanjang apa pun kalimatnya, namun harus terdiri dari hanya 17 suku kata. Baris keempat, kembali kepada suku kata berjumlah delapan (suku kata). Mungkin terdiri dari tiga kata, empat kata bahkan lima kata, namun tetap berasal susunan  dari 8 suku kata. Tema: kemuliaan rohani, kebesaran bangsa, renungan spiritual dan kearifan.

Kenapa harus Syair?  Kenapa bukan puisi? Atau sajak? ADS memberikan alasan, karena: (1) Kembali pada asal istilah ’profesi’ Penyair, bukan Penyajak atau Pemuisi; (2) Ada upaya kembali untuk melestarikan kesenian tradisi; (3) Ada pula rima/persamaan bunyi; (4) Terasa ada senandung; (5) Efektivitas waktu.

Ada 70 syair yang diciptakan oleh Anton de Sumartana (ADS), yang menurut pengakuannya dicipta dalam satu kesatuan waktu. Artinya, sejak mengawali menuliskan syair pertama, dia terus melakukannya tanpa berhenti, sampai pada syair ke-70. Setelah itu, tiba-tiba inspirasi mandek. Dicoba dan dicoba untuk menulis lagi tapi tak keluar juga ide dan gagasan. Kreativitasnya habis. Jadilah dia berhenti dan menyudahi menulis. Ia tak menyadari kalau  syair yang ditulisnya sudah mencapai jumlah 70. Angka 70 ini apakah ada kaitannya dengan ulang tahun ke-70 Kemerdekaan RI, dia tidak tahu. Dia baru sadar, ketika diingatkan bahwa angka 70 itu barangkali ada kaitannya dengan kemerdekaan negeri ini.

Sekarang, mari kita lihat apakah sebenarnya syair itu? Wikipedia bahasa Indonesia,  ensiklopedi bebas, yang mengaku belum diperiksa memberikan batasan: Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Ia berasal dari Persia (sekarang Iran) dan telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan kedatangan Islam. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi kata syi’ru yang berarti puisi dalam pengertian umum. Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga syair didesain sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi. Dalam perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga menjadi khas Melayu, tidak lagi mengacu pada tradisi sastra syair di negeri Arab. Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas Melayu adalah Hamzah Fansuri dengan karyanya, antara lain: Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, dan Syair Sidang Fakir.

Mari kita lihat perbandingan Syair khas Melayu dan karya ADS

Syair Khas Melayu

Seri Negeri gelaran diberi

Sebuah pulau cantik berseri

Bernaung di bawah sebuah negeri

Raja berdaulat Paduka Seri

 

 

Pulau lagenda dimakan sumpah

Tujuh keturunan tamatlah sudah

Karena makmur melimpah ruah

Semua penghuni tersenyum megah

 

Wahai muda kenali dirimu

Inilah perahu tamsil dirimu

Tiadalah berapa lama hidupmu

Ke akhirat juga kekal diammu.

 

 

Syair  Syiar karya Anton de Sumartana

Di mulanya

Dicipta manusia dalam buana raya

Lahir abzet berlisan tanpa makna terasa senyawa

Bineka hati bersama

 

Karya mulya

Merasuk dalam jajaran susastra panjang

Kreativitas bersama kriya Empu membangun Adab

Cerah hati nan melayang

 

Cipta rumus

Menghadang golak kreasi tanpa dasar

Namun ingin kuasa tanpa norma tiada etika

Dienyah saja bersama.

 

Karya mutu

Aneka kreasi atas inspirasi bumi

Tidak lekang bujuk karya siur sirna pekerti Bangsa

Kriya top Empu nan Empu.

 
 

Ciri- ciri Syair Melayu :

1) Terdiri atas 4 baris tiap bait;

2) Setiap bait memberi arti sebagai satu kesatuan;

3) Tiap baris terdiri atas 4 kata (8-16 suku kata);

4) Bersajak aa-aa;

5) Berirama 2-2 (../..);

6) Jumlah suku kata tiap baris 8-12 kata;

7) Isi syair berupa nasihat, petuah, dongeng/cerita.

 
Ciri-ciri Syair ADS:

1)      Tidak ada judul

2)      Terdiri atas  4 atau 2 baris tiap bait.

3)      Setiap bait mengandung satu gagasan utama (tema).

4)      Baris pertama 4 suku kata, baris kedua 5 kata, baris ketiga 17 suku kata, baris keempat 8 suku kata.

5)      Bersajak bebas

6)      Berirama bebas

7)      Isinya semangat cinta bangsa atau nilai spiritual/rohaniah.
 

Dari 70 syair karya ADS, kalau dibedah, akan nampak bahwa tiap-tiap syair ada kalanya berkaitan dengan syair lain, ada kalanya tidak. Jika diibaratkan sebuah rangkaian peristiwa yang diawali dengan pendahuluan – isi – penutup, maka pada syair-syair ADS, puluhan pertama boleh dikatakan sebagai pendahuluan, pengantar, puluhan ke-2, 3, 4, 5, 6 adalah sebagai isi, dan puluhan ke-7 adalah penutup.

Pada puluhan pertama yang dibuka dengan baris /larik pertama : Dimulanya..., sampai pada baris pertama yang berbunyi: Neka Syair..., menggambarkan pendahuluan yang menerang-jelaskan tentang kreativitas dengan diciptakannya rumus 4 5 17 8, sebagai syair syiar, yang diharapkan tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, dengan mengusung bhineka tunggal ika sebagai cahaya yang menerangi bangsa. Karya-karya itu hendaknya dijaga, dipelihara, jangan sampai dicuri oleh bangsa lain dan diklaim sebagai karya bangsanya. Hasil olah otak-atik itu diharapkan sebagai sesuatu yang berbeda yang dapat ikut mewarnai tamansari budaya nusantara.

Pada puluhan kedua  ADS mengungkapkan tentang syair syiar yang dikaitkan dengan Walisongo (9 wali), yang merupakan perjalanan hidup yang panjang untuk menampilkan pribadi yang bermutu. Kreativitas baginya tidak akan lebur oleh zaman. Kreativitas itu bermula saat kanak mengawali mengeja kata, kesadaran akan hadirnya seorang ibu, kasih, yang dapat mengantarkannya ke surga. Syair ke-17 (dengan larik awal angka 17),  mengingatkan  keikhlasan untuk menjalin persatuan, meluruskan arah untuk hidup tertib agar bermanfaat.  Kemudian merah putih sebagai pusaka bangsa diharapkan terus berkibar tegar dalam kasih Tuhan. Oleh karena itu, bangsa ini perlu menahan godaan dalam hening hati, sambil terus berjuang menjunjung kreativitas dengan harapan dunia akan menghargai hasil kreasi dan kearifan bangsa ini.

Pada puluhan ketiga ADS mengusung tema-tema kebangsaan dengan mengungkap ulang empat pilar (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika). Untuk mencapai  Indonesia jaya, dengan mengharapkan keadilan kemakmuran, kedaulatan Nusantara, diperlukan olah pikir dalam kampus yang hening, menimbang kekekalan, menuju cita-cita mawadah warohmah (cinta, harapan dan kasih sayang). Oleh karena itu segala bentuk pengabaian tata krama perlu dilawan, apalagi menggunakan kekuasaan untuk mendholimi  bangsa, memamerkan pencitraan yang tak guna, serta keinginan berkuasa dengan segala cara, semogalah mereka diingatkan akan adanya siksa kubur.

Puluhan keempat Syair Syiar menunjukkan keaslian sikap dan proses kreatif ADS: galak, pemberontak, marah pada kesewenangan, dendam pada penguasa serakah, dan berbela rasa pada yang tertindas. Dengan menghalalkan segarla cara: tipu-menipu, menebar isu, fitnah, menghasut teror dan sabotase, yang dapat menjurus ke arah makar, nafsu serakah itu akan kandas. Jika tidak ingat akan waktu untuk bertobat, berkubang terjerembab dalam dusta, dendam, kesewenang-wenangan hukum yang tak jelas, palu hakim yang salah, bersimbah dosa demi dosa, mencoreng moreng sejarah, tak hiraukan ajal, maka rakyat pun akan bergerak. Kita diingatkan kembali oleh semangat bambu runcing, yang ditakuti penjajah selama perang, jika penguasa lalim rakyat akan berjuang mempertahankan tanah tumpah darah dan mengingatkan agar penguasa serakah tak lena dalam urusan dunia.

Puluhan keempat Syair Syiar dapat dianggap sebagai klimaks dari siklus  syair gubahan ADS. Puluhan kelima, keenam dan ketujuh dapat dianggap sebagai antiklimaks. Pada puluhan kelima ADS sudah mulai tenang dengan mengusung tema renungan, kesadaran dan keikhlasan. Dalam keheningan renungan untuk mencapai kemenangan, perlu tanggap terhadap tanda-tanda zaman. Jika kita menyatu pada Yang Maha Kuasa, dengan teguh tegas membela bangsa menjaga kemerdekaan dengan semangat juang dan niat suci, dengan kebijakan untuk mencapai  kemuliaan, kita dapat memenuhi kebutuhan jiwa dengan menata keadaaban dengan etika, untuk menuju habitus baru: keadaban baru. Bagaimana cara? Lahir kembali, reborn, untuk menjadi saleh dengan ikhlas. Dalam kegalauan hidup yang tak tentu arah, dengan bimbingan agama, keyakinan, keteguhan iman, pada akhirnya kita harus ikhlas untuk menerima tuntunan Yang Maha Kuasa agar  hidup lebih terarah.

Pada puluhan keenam, ADS kembali menggelorakan semangat menuju keunggulan, kemuliaan sesuai cita-cita pendiri bangsa. Dengan kejujuran dan ketulusan kita dapat mengalahkan kemunafikan. Sambil menatap dunia dalam genggaman sesama, kita dapat menikmaati permainan semasa kanak: petak umpet di saat mendung, main kelereng, dan benturan antarkelereng itu tiba-tiba membahana dhuaarrr... laksana geledek membelah jagat yang mengingatkan kita untuk meniti jalan menuju Arazy, singgasana Ilahi. Di hadapan singgasana Ilahi itu kita mengungkap nasib dalam timbangan amal dan dosa. Dalam rotasi, perputaran hidup kita, kita sadar akan adanya surga yang nyata. Kita berharap mendapatkan dekapan damai dalam hayat, sambil menatap Nur Ilahi dalam kebahagiaan surga. Kita akan berada dalam surga jika kita memiliki kasih. Kesadaran hakiki itu akan mengantarkan kita untuk tunduk rukuk dalam kuasa-Nya. Kesadaran itu pulalah yang memperteguh keyakinan kita untuk mempertahankan budaya syukur dalam laku ibadah!

Sebagai penutup Syair Syiar, puluhan ketujuh mengantar kita pada ibadah yang ikhlas untuk menghapus dosa. Ini mengingatkan kita pada mortalitas, lawan vitalitas. Dalam gemblengan  satu bulan puasa dilambari niat suci dan keikhlasan, maka hadiahnya seribu bulan memandang untuk hapusnya salah dan dosa, kembali ke dalam fitrah suci, kesalehan iman, tertib diri sebagai bekal akhir untuk menghadap-Nya. Dalam hening meditasi muncul kebanggaan untuk mencapai semangat ikhlas luar biasa, dalam sujud tunduk tafakur ibadah, imbalan pahala pun berlimpah. Benar, Tuhan tidak pernah tidur. Gusti Allah ora sare! Jika kita pasrah ikhlas, Tuhan tahu hasrat kita!

Demikianlah, ketujuh puluh Syair Syiar menggambarkan perjalanan hidup seorang ADS. Sambung sinambungnya cerita dari awal kehidupan (vitalitas), menuju puncak sampai lengser menjemput kematian (mortalitas), penuh dengan aneka warna perjuangan, hentakan, pergulatan, kemarahan, dendam, pemberontakan itu pada akhirnya bersimpuh dalam ketemaraman sujud syukur ikhlas pasrah pada kemuliaan Sang Maha.

Menelisik dari sisi dulce (estetika)  dan utile (moralitas), apakah Syair Syiar itu sudah memenuhi kepuasan dan kenikmatan pembacanya, itu terpulang kepada pembaca sendiri. Hal itu akan dibuktikan oleh waktu. Batu ujian masa itulah yang akan menentukan apakah Syair Syiar akan bertahan ataukah tidak. Hal ini sesuai dengan  yang pernah dikatakan oleh Chairil, bahwa setiap karya sastera, termasuk  puisi atau syair, adalah anak kandung zamannya.  Apakah syair-syair ADS ini memenuhi kriteria estetika dan moralitas itu pun juga terpulang kepada ujian zaman. Waktu yang akan menentukannya!

Dari segi kreativitas, otak-atik ADS laksana permainan anak-anak, yang kemudian mengantarkannya pada rumusan baru, mengingatkan kita pada ungkapan Ki Hajar Dewantara dalam “Prinsip 3N”. Niteni, Nirokake, Nambahi!

Niteni atau to inquire, artinya mengamati, meneliti, memerhatikan, menganalisis untuk mendapatkan pemahaman, pengertian yang baik. AMATI.

Nirokake atau to imitate, artinya menirukan yang dalam istilah anak-anak sekolah “nyontek”. Orang-orang yang menjalankan bisnis jaringan lebih suka menggunakan istilah duplikasi. TIRUKAN.

Nambahi  atau to innovate, artinya memodifikasi, memperbaiki atau bahkan membuat semakin sempurna atau menyempurnakan. MODIFIKASI.

Ada orang yang mencoba menawarkan istilah lain, yaitu ATM = Amati, Tirukan dan Modifikasi. Inilah yang juga dilakukan oleh bangsa-bangsa maju di dunia, termasuk Jepang, Cina, Singapura, Korea Selatan  dll., untuk menciptakan kreasi baru baik dalam industri maupun jasa. Termasuk dalam cipta sastra.

Demikian proses kreatif seorang ADS dalam mencipta Syair Syiar! Adakah sesuatu yang baru? Di bawah matahari ini tidak ada sesuatu yang baru, kata Kitab Bijak. Segala sesuatu yang ada sekarang pernah ada sebelumnya. Yang nanti akan ada, juga merupakan pengulangan atau modifikasi yang sudah pernah ada!

Dari sisi stilistika, ADS memang memiliki gaya ucap yang khas. Diksi yang digunakan pendek, pekat, padat, kadang membuat bingung dan penasaran karena tak jelas apa yang dimaksudkan! Simak beberapa gaya ucap dalam puisinya, termasuk judul buku-bukunya, seperti: cipta rumus, neka syair, nan nun silang, nung nang ning nang, coreng neka, moreng hayat, benterang, mulut sampah serapah kata, republik satu rakyat, sembah darah, tasena dewa, tidak harus jadi presiden dicipta lagu... dan masih seabrek lagi kata, istilah, kalimat yang diungkapkannya.

Meminjam istilah Luxemburg, Bal dan Weststeijn (1989: 71), Penggunaan bahasa “penyair” (ADS) hanya dapat diartikan sebagai “bahasa khas bagi banyak sajak”, dan bukan menunjuk pada ciri puisi (syair) “yang sebenarnya”. Anggapan yang agak lazim mengenai puisi ialah bahwa ia terutama merupakan pengungkapan rasa. Jadi bahasa puisi, seperti bahasa yang digunakan ADS dalam karya-karya puisi maupun syairnya, memanglah tidak lugas dan objektif, melainkan berperasaan dan subjektif.

Masih banyak yang dapat diungkap dari Syair Syiar, tapi saya harus berhenti di sini, untuk memberikan ruang dan kesempatan kepada para penikmat. Silakan mencicipi dan mencecap nikmat Syair Syiar untuk diresap, direnung dan diamalkan. Saya hanya ingin mengartikulasikan kembali ucap sahabat yang kreativitasnya tak kunjung henti ini, seperti yang ditulis dalam buku  Tuhan Kedua (Khoirul Inayah, 2014: 252):

Amal apa yang baik? Kebaikan.

Amal apa yang benar? Kebijaksanaan.

Amal apa yang ikhlas? Tergerak dari sanubari.

Amal apa yang dahsyat? Digetar oleh hati, digelar dengan tindakan.

 

Semoga Syair Syiar menjadi amal yang dahsyat!

 

RUJUKAN

 

Hanifah, Sharah. 2015. Pengertian Kreativitas dan Teori Kreativitas. (Online). Tersedia di:

http://sharahhanifah.blogspot.com/2015/03/pengertian-kreativitas-dan-teori.html.

Diunduh 30 Agustus 2015.

Inayah, Khoirul. 2014. Tuhan Kedua. Lebih Dalam Anton De Sumartana. Depok: Radya Juara. 

Luxemburg, Jan van; Bal, Mieke; Weststeijn, Willem G. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Mardinata, Sulung Lahitami. 2012. Teori Analisis Sastra dengan Pendekatan Stilistika.

 (Online). Tersedia disini  Diunduh: 4 Sept 2015.

Teew, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun