Dari 70 syair karya ADS, kalau dibedah, akan nampak bahwa tiap-tiap syair ada kalanya berkaitan dengan syair lain, ada kalanya tidak. Jika diibaratkan sebuah rangkaian peristiwa yang diawali dengan pendahuluan – isi – penutup, maka pada syair-syair ADS, puluhan pertama boleh dikatakan sebagai pendahuluan, pengantar, puluhan ke-2, 3, 4, 5, 6 adalah sebagai isi, dan puluhan ke-7 adalah penutup.
Pada puluhan pertama yang dibuka dengan baris /larik pertama : Dimulanya..., sampai pada baris pertama yang berbunyi: Neka Syair..., menggambarkan pendahuluan yang menerang-jelaskan tentang kreativitas dengan diciptakannya rumus 4 5 17 8, sebagai syair syiar, yang diharapkan tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, dengan mengusung bhineka tunggal ika sebagai cahaya yang menerangi bangsa. Karya-karya itu hendaknya dijaga, dipelihara, jangan sampai dicuri oleh bangsa lain dan diklaim sebagai karya bangsanya. Hasil olah otak-atik itu diharapkan sebagai sesuatu yang berbeda yang dapat ikut mewarnai tamansari budaya nusantara.
Pada puluhan kedua ADS mengungkapkan tentang syair syiar yang dikaitkan dengan Walisongo (9 wali), yang merupakan perjalanan hidup yang panjang untuk menampilkan pribadi yang bermutu. Kreativitas baginya tidak akan lebur oleh zaman. Kreativitas itu bermula saat kanak mengawali mengeja kata, kesadaran akan hadirnya seorang ibu, kasih, yang dapat mengantarkannya ke surga. Syair ke-17 (dengan larik awal angka 17), mengingatkan keikhlasan untuk menjalin persatuan, meluruskan arah untuk hidup tertib agar bermanfaat. Kemudian merah putih sebagai pusaka bangsa diharapkan terus berkibar tegar dalam kasih Tuhan. Oleh karena itu, bangsa ini perlu menahan godaan dalam hening hati, sambil terus berjuang menjunjung kreativitas dengan harapan dunia akan menghargai hasil kreasi dan kearifan bangsa ini.
Pada puluhan ketiga ADS mengusung tema-tema kebangsaan dengan mengungkap ulang empat pilar (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika). Untuk mencapai Indonesia jaya, dengan mengharapkan keadilan kemakmuran, kedaulatan Nusantara, diperlukan olah pikir dalam kampus yang hening, menimbang kekekalan, menuju cita-cita mawadah warohmah (cinta, harapan dan kasih sayang). Oleh karena itu segala bentuk pengabaian tata krama perlu dilawan, apalagi menggunakan kekuasaan untuk mendholimi bangsa, memamerkan pencitraan yang tak guna, serta keinginan berkuasa dengan segala cara, semogalah mereka diingatkan akan adanya siksa kubur.
Puluhan keempat Syair Syiar menunjukkan keaslian sikap dan proses kreatif ADS: galak, pemberontak, marah pada kesewenangan, dendam pada penguasa serakah, dan berbela rasa pada yang tertindas. Dengan menghalalkan segarla cara: tipu-menipu, menebar isu, fitnah, menghasut teror dan sabotase, yang dapat menjurus ke arah makar, nafsu serakah itu akan kandas. Jika tidak ingat akan waktu untuk bertobat, berkubang terjerembab dalam dusta, dendam, kesewenang-wenangan hukum yang tak jelas, palu hakim yang salah, bersimbah dosa demi dosa, mencoreng moreng sejarah, tak hiraukan ajal, maka rakyat pun akan bergerak. Kita diingatkan kembali oleh semangat bambu runcing, yang ditakuti penjajah selama perang, jika penguasa lalim rakyat akan berjuang mempertahankan tanah tumpah darah dan mengingatkan agar penguasa serakah tak lena dalam urusan dunia.
Puluhan keempat Syair Syiar dapat dianggap sebagai klimaks dari siklus syair gubahan ADS. Puluhan kelima, keenam dan ketujuh dapat dianggap sebagai antiklimaks. Pada puluhan kelima ADS sudah mulai tenang dengan mengusung tema renungan, kesadaran dan keikhlasan. Dalam keheningan renungan untuk mencapai kemenangan, perlu tanggap terhadap tanda-tanda zaman. Jika kita menyatu pada Yang Maha Kuasa, dengan teguh tegas membela bangsa menjaga kemerdekaan dengan semangat juang dan niat suci, dengan kebijakan untuk mencapai kemuliaan, kita dapat memenuhi kebutuhan jiwa dengan menata keadaaban dengan etika, untuk menuju habitus baru: keadaban baru. Bagaimana cara? Lahir kembali, reborn, untuk menjadi saleh dengan ikhlas. Dalam kegalauan hidup yang tak tentu arah, dengan bimbingan agama, keyakinan, keteguhan iman, pada akhirnya kita harus ikhlas untuk menerima tuntunan Yang Maha Kuasa agar hidup lebih terarah.
Pada puluhan keenam, ADS kembali menggelorakan semangat menuju keunggulan, kemuliaan sesuai cita-cita pendiri bangsa. Dengan kejujuran dan ketulusan kita dapat mengalahkan kemunafikan. Sambil menatap dunia dalam genggaman sesama, kita dapat menikmaati permainan semasa kanak: petak umpet di saat mendung, main kelereng, dan benturan antarkelereng itu tiba-tiba membahana dhuaarrr... laksana geledek membelah jagat yang mengingatkan kita untuk meniti jalan menuju Arazy, singgasana Ilahi. Di hadapan singgasana Ilahi itu kita mengungkap nasib dalam timbangan amal dan dosa. Dalam rotasi, perputaran hidup kita, kita sadar akan adanya surga yang nyata. Kita berharap mendapatkan dekapan damai dalam hayat, sambil menatap Nur Ilahi dalam kebahagiaan surga. Kita akan berada dalam surga jika kita memiliki kasih. Kesadaran hakiki itu akan mengantarkan kita untuk tunduk rukuk dalam kuasa-Nya. Kesadaran itu pulalah yang memperteguh keyakinan kita untuk mempertahankan budaya syukur dalam laku ibadah!
Sebagai penutup Syair Syiar, puluhan ketujuh mengantar kita pada ibadah yang ikhlas untuk menghapus dosa. Ini mengingatkan kita pada mortalitas, lawan vitalitas. Dalam gemblengan satu bulan puasa dilambari niat suci dan keikhlasan, maka hadiahnya seribu bulan memandang untuk hapusnya salah dan dosa, kembali ke dalam fitrah suci, kesalehan iman, tertib diri sebagai bekal akhir untuk menghadap-Nya. Dalam hening meditasi muncul kebanggaan untuk mencapai semangat ikhlas luar biasa, dalam sujud tunduk tafakur ibadah, imbalan pahala pun berlimpah. Benar, Tuhan tidak pernah tidur. Gusti Allah ora sare! Jika kita pasrah ikhlas, Tuhan tahu hasrat kita!
Demikianlah, ketujuh puluh Syair Syiar menggambarkan perjalanan hidup seorang ADS. Sambung sinambungnya cerita dari awal kehidupan (vitalitas), menuju puncak sampai lengser menjemput kematian (mortalitas), penuh dengan aneka warna perjuangan, hentakan, pergulatan, kemarahan, dendam, pemberontakan itu pada akhirnya bersimpuh dalam ketemaraman sujud syukur ikhlas pasrah pada kemuliaan Sang Maha.
Menelisik dari sisi dulce (estetika) dan utile (moralitas), apakah Syair Syiar itu sudah memenuhi kepuasan dan kenikmatan pembacanya, itu terpulang kepada pembaca sendiri. Hal itu akan dibuktikan oleh waktu. Batu ujian masa itulah yang akan menentukan apakah Syair Syiar akan bertahan ataukah tidak. Hal ini sesuai dengan yang pernah dikatakan oleh Chairil, bahwa setiap karya sastera, termasuk puisi atau syair, adalah anak kandung zamannya. Apakah syair-syair ADS ini memenuhi kriteria estetika dan moralitas itu pun juga terpulang kepada ujian zaman. Waktu yang akan menentukannya!
Dari segi kreativitas, otak-atik ADS laksana permainan anak-anak, yang kemudian mengantarkannya pada rumusan baru, mengingatkan kita pada ungkapan Ki Hajar Dewantara dalam “Prinsip 3N”. Niteni, Nirokake, Nambahi!