Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[100Puisi] Surat dari Guru Paud

18 Februari 2016   06:01 Diperbarui: 1 April 2017   09:03 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ai, Eti, Eri, Lilis dan Unay, Guru Paud Nurul Iman"][/caption]

 

Sepuluh tahun telah berlalu

kala kuputuskan untuk menemanimu

meniti hari menata hati agar tumbuh kembangmu terbantu

dalam kebersamaan canda dan tawa sorak sorai bahagia

bermain bernyanyi menari dan berjoget  bersama semua

kadang ada juga tangismu sekali-sekali  itu tak apa

 

Di atas pekarangan sewa yang tak begitu luas

Dengan dua ruang yang disekat untuk  kelas

Sungguh sangat terbatas untuk aktivitas

Tiada lagi tempat untuk  mck dan jauh dari fasilitas

Halaman  sekolah  tak berapa luas

Alat permainan edukatif  yang sangat terbatas

Tak ada pilihan lain kau pun bermain dengan tangkas

Melepas belenggu keterbatasan  hingga jiwamu bebas

Terbang mengangkasa  ke dunia khayal tak berwatas

 

 [caption caption="Anak-anak Paud Nurul Iman unjuk kabisa"]

[/caption]

Jujur kukata padamu saat itu

ku masih miskin pengalaman miskin ilmu

sebagai guru bantu yang langsung nyebur bersamamu

yang kumiliki hanya satu: hati yang peduli untukmu

 

Setiap pagi tiada henti kucoba sirami dengan ketulusan hati

Segenap bakat minat hasrat dan niatmu yang suci

Laksana merajut kesabaran menggapai mimpi

Membuka cakrawala baru sepenuh potensi warna-warni

Kelak kau dapat menemukan jatidiri sebagai pribadi mandiri

 

Kalau kau datang ke rumahku,

bukan, rumah orang tua tempat kumenumpang

Kursi tua berlubang-lubang, jendela kaca yang senantiasa buram

hordeng belel dimakan usia lantai semen kusam

dengan sampah yang kadang berserakan

buku-buku bertebaran di atas meja berdebu

semua akan bercerita padamu

tentang kini  kondisiku

 

ah, tentang itu semua tak kan kukabarkan padamu

tak layak untuk digugu dan ditiru

sumbanganmu saban bulan tak pernah mencukupi

untuk melengkapi kebutuhan belajarmu sehari-hari

sumbangan yang digembar-gemborkan

dari pihak yang katanya masih memiliki hati

hingga kini tetaplah  tinggal janji

yang tak pernah pasti kapan terpenuhi

jangankan untuk kami

jika pun ada itu setahun sekali dengan jumlah yang sangat tak berarti

masih juga disunat dengan alasan itu ini

tetaplah itu  kami syukuri sebagai rizki ilahi panyambung mimpi

 

sepuluh tahun menahan ketidakpastian

menggantung asa menabrak kebimbangan

janji-janji yang terucap tak pernah kesampaian

sementara tugas dan kewajiban tak mungkin diabaikan

sementara hidup harus tetap berjalan meski dengan gerak tertahan

pada-Mu Tuhan kudaraskan semua ini dengan keikhlasan

 

 

Foto-foto diambil dari PAUD NURUL IMAN, Desa Medarjaya Kecamatan Jatinunggal Kabupaten Sumedang oleh Efendi.

Ds. Medarjaya, 17 Februari 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun