Sekedar Bapak ketahui, yang nimbrung di INT ini adalah perawat Indonesia dari lima benua, di antaranya dari Belanda, Jerman, Inggris, Saudi Arabia, Kuwait, UAE, Qatar, Singapore, Malaysia, Taiwan, Hongkong, Korea, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Canada dan negara tercinta Indonesia. Di Tanah Air sendiri, anggota kami mulai dari Sabang, hingga Papua. Jadi, tidak berlebihan jika INT ini cukup mewakili, meski kami bukan suara organisasi profesi kami.
Kemarin, tanggal 18 Agustus 2015 pagi tepatnya, saya menulis sebuah artikel pendek berjudul TANPA STR TIDAK BOLEH KERJA: DISKRIMINASI MAHASISWA DAN LULUSAN. Diskusi ini amat menarik. Hingga saya tulis artikel ini, jam 8 malam pada hari yang sama, di LIKE oleh tidak kurang dari 567 pembaca, 89 orang diantaranya men-SHARE. Jumlah tersebut gabungan dari FB INT, FB pribadi saya Syaifoel Hardy, dan Fan page INT.
Dari 567 pembaca yang ada, jumlah COMMENT di INT 134. Lebih dari 90% di antaranya mengeluh tentang STR. Sisanya yang 10% menyarankan untuk bersabar, mengikuti prosedur dan mendukung STR demi perbaikan.
Bapak Kepala MTKI yang saya hormati.
Sebagai lulusan SPK tiga dasa warsa silam, saya merasa saat ini sudah Pensiun. Sebagai bukti pengabdian, saya berniat untuk membantu mendongkrak semangat teman-teman generasi muda profesi ini agar menjalani profesi lebih baik. Kalau mungkin, saya mimpi, setiap perawat Indonesia di Bumi Pertiwi ini bisa kaya, terkenal dan profesional. Itulah biasanya moto yang kami gembar-gemborkan dalam ratusan event seminar, guest lecture, serta forum yang kami hadiri.
Kami menyadari bahwa STR itu sangat penting dan mutlak dimiliki seorang profesional. STR adalah demi peningkatan kualitas dan reputasi profesi.
Kami juga sadar bahwa STR yang tergolong baru lahir bagi perawat kita, masih butuh banyak pembenahan. Mekanisme STR butuh proses panjang guna penyempurnaannya. Kami, sangat menghargai jerih payah Bapak-bapak yang duduk di MTKI dalam upaya perbaikan mutu layanan kesehatan di Indonesia.
Hanya saja begini Bapak:
Tujuan anak-anak generasi muda kuliah ini adalah, sesudah lulus, gampang memperoleh pekerjaan serta mendapatkan upah yang layak.
Dua hal inilah yang saya rasakan sebagai Perawat Senior sangat jauh dengan kondisi kami di tahun 1980 an, di mana gampang cari kerja termasuk PNS. Saya tidak melihat adanya korelasi antara tingginya level pendidikan dengan peluang kerja. Ironisnya, STR, ternyata sangat berperan melebihi ijazah.
Saya katakan demikian karena saya sudah menemui ribuan mahasiswa se Indonesia dan mendengar langsung dari mereka. Meski tanpa statistik yang bisa saya sodorkan dalam Surat Terbuka ini, itulah kenyataan di lapangan. Barangkali ada segelintir perawat Indonesia yang protes, tidak perlu ada STR. Namun mayoritas, sangat mendukung. Memiliki STR adalah kebanggan setiap profesi. Tidak ubahnya predikat Registered Nurse (RN) di Amerika Serikat. Yang dikeluhkan rekan-rekan kami satu: sistemnya saat ini.
Kami sangat menyadari, MTKI sibuk sekali mengurusi ratusan ribu profesional kesehatan. Jika MTKI butuh tenaga, sekarang ini banyak perawat muda kita yang pintar dan memiliki etos kerja tinggi. Bukti nyata kinerja perawat adalah, hingga saat ini hanya Profesi Keperawatan di negeri ini yang paling banyak prosentasenya yang bekerja di luar negeri. Bahkan perawat Indonesia menyabet predikat sebagai Diaspora Award Winner di Los Angeles, 2012 lalu, pada Kongres Diaspora pertama. Hanya perawat satu-satunya yang mencatat sejarah penghargaan Diaspora, bukan profesi kesehatan lain. Prestasi yang sama diterima oleh mantan Menteri Keuangan, Ibu Dr. Sri Mulyani. Beberapa perawat kita di luar negeri meraih predikat sebagai karyawan terbaik.