Mohon tunggu...
Sugeng Riyadi
Sugeng Riyadi Mohon Tunggu... Perawat - Diaspora Indonesia di Qatar

Travel around and enjoy your life!

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Surat Terbuka CEO INT untuk Ketua MTKI

20 Agustus 2015   19:23 Diperbarui: 20 Agustus 2015   19:23 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permasalahan ruwetnya pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) bagi tenaga kesehatan khususnya Perawat terus berkelanjutan. Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) sebagai lembaga yang mendapat mandat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terus mendapat kritik. 

CEO Indonesian Nursing Trainers (INT), Bapak Syaifoel Hardy, membuat Surat Terbuka ke Kepala MTKI. Beliau sebagai pendiri sekaligus pengasuh lembaga pelatihan keperawatan secara online dan offline memberikan kritik sekaligus beberapa alternatif solusi yang diharapkan bisa memecahkan permasalahan susahnya pengurusan STR bagi tenaga Perawat di Republik Indonesia tercinta.

Surat Terbuka yang dirilis 19 Agustus 2015 di Group & Fanspage INDONESIAN NURSING TRAINERS terus mendapatkan berbagai macam komentar. Tak hanya itu, Surat Terbuka itu juga terus menyebar di sosial media, sebagai wujud ketidakpuasan terhadap layanan MTKI dalam mengurusi STR PERAWAT. Berikut ini kutipan lengkap Surat Terbuka tentang STR tersebut:

SURAT TERBUKA BUAT MTKI: LAGI-LAGI, TENTANG STR

Assalamu a'laikum Warahmatullahi wabarakaatuh.....

Bapak Kepala MTKI yang saya hormati.

Perkenalkan nama saya Syaifoel Hardy, pengasuh lembaga pelatihan soft skills yang bernama Indonesian Nursing Trainers (INT). Lembaga yang aktif di dunia maya ini beranggotakan 21. 712 orang hingga tadi malam tertanggal 18 Agustus 2015. Sehari tepat sesudah kita memperingati hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 70.

Sebelumnya saya mohon maaf mengganggu jam kerja Bapak yang mengurusi jutaan anggota profesi kesehatan se Indonesia. Kami menyadari hal tersebut. Karena jumlah perawat Indonesia saja, lebih dari 800 ribu orang. Itupun banyak yang tidak atau belum terdaftar.

Saya lulusan SPK tahun 1982 pak. Saya lama kerja di luar negeri, 21 tahun. Bukan untuk gagah-gagahan. Lagi pula lulusan SPK sudah bukan tergolong sebagai tenaga profesional saat ini. Namun SPK dulu menjadi pasukan kesehatan terdepan. Kami sebagian yang kerja di luar negeri, seperti halnya Duta Besar Indonesia, mengemban beban yang sama, yakni membawa nama baik bangsa Indonesia. Kami yang memilih kerja di luar negeri, karena saat itu juga didukung dan sebagi bagian dari program Pemerintah. Bedanya, saat itu tidak ada STR. Jadi, lebih mudah. Kini, zaman sudah berubah.

Tujuan saya menulis Surat Terbuka untuk MTKI ini, guna menyuarakan aspirasi teman-teman perawat yang nimbrung di rubrik INT kami. Mereka menilai fenomena yang terjadi pada pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) perlu dibenahi. Jumlah member di INT ini terbanyak di antara sosial media keperawatan yang ada di Indonesia. Oleh karenanya, sudah sepantasnya saya sebagai pengasuhnya, meneruskan apa yang menjadi uneg-uneg perawat Indonesia, yang sering kami diskusikan. Lewat forum ini, kami sering curhat, berbagi kisah, suka dan duka perawat Indonesia, di dalam dan luar negeri.

Bapak Kepala MTKI yang kami hormati.

Sekedar Bapak ketahui, yang nimbrung di INT ini adalah perawat Indonesia dari lima benua, di antaranya dari Belanda, Jerman, Inggris, Saudi Arabia, Kuwait, UAE, Qatar, Singapore, Malaysia, Taiwan, Hongkong, Korea, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Canada dan negara tercinta Indonesia. Di Tanah Air sendiri, anggota kami mulai dari Sabang, hingga Papua. Jadi, tidak berlebihan jika INT ini cukup mewakili, meski kami bukan suara organisasi profesi kami.

Kemarin, tanggal 18 Agustus 2015 pagi tepatnya, saya menulis sebuah artikel pendek berjudul TANPA STR TIDAK BOLEH KERJA: DISKRIMINASI MAHASISWA DAN LULUSAN. Diskusi ini amat menarik. Hingga saya tulis artikel ini, jam 8 malam pada hari yang sama, di LIKE oleh tidak kurang dari 567 pembaca, 89 orang diantaranya men-SHARE. Jumlah tersebut gabungan dari FB INT, FB pribadi saya Syaifoel Hardy, dan Fan page INT.

Dari 567 pembaca yang ada, jumlah COMMENT di INT 134. Lebih dari 90% di antaranya mengeluh tentang STR. Sisanya yang 10% menyarankan untuk bersabar, mengikuti prosedur dan mendukung STR demi perbaikan.

Bapak Kepala MTKI yang saya hormati.

Sebagai lulusan SPK tiga dasa warsa silam, saya merasa saat ini sudah Pensiun. Sebagai bukti pengabdian, saya berniat untuk membantu mendongkrak semangat teman-teman generasi muda profesi ini agar menjalani profesi lebih baik. Kalau mungkin, saya mimpi, setiap perawat Indonesia di Bumi Pertiwi ini bisa kaya, terkenal dan profesional. Itulah biasanya moto yang kami gembar-gemborkan dalam ratusan event seminar, guest lecture, serta forum yang kami hadiri.

Kami menyadari bahwa STR itu sangat penting dan mutlak dimiliki seorang profesional. STR adalah demi peningkatan kualitas dan reputasi profesi.

Kami juga sadar bahwa STR yang tergolong baru lahir bagi perawat kita, masih butuh banyak pembenahan. Mekanisme STR butuh proses panjang guna penyempurnaannya. Kami, sangat menghargai jerih payah Bapak-bapak yang duduk di MTKI dalam upaya perbaikan mutu layanan kesehatan di Indonesia.

Hanya saja begini Bapak:

Tujuan anak-anak generasi muda kuliah ini adalah, sesudah lulus, gampang memperoleh pekerjaan serta mendapatkan upah yang layak.
Dua hal inilah yang saya rasakan sebagai Perawat Senior sangat jauh dengan kondisi kami di tahun 1980 an, di mana gampang cari kerja termasuk PNS. Saya tidak melihat adanya korelasi antara tingginya level pendidikan dengan peluang kerja. Ironisnya, STR, ternyata sangat berperan melebihi ijazah.

Saya katakan demikian karena saya sudah menemui ribuan mahasiswa se Indonesia dan mendengar langsung dari mereka. Meski tanpa statistik yang bisa saya sodorkan dalam Surat Terbuka ini, itulah kenyataan di lapangan. Barangkali ada segelintir perawat Indonesia yang protes, tidak perlu ada STR. Namun mayoritas, sangat mendukung. Memiliki STR adalah kebanggan setiap profesi. Tidak ubahnya predikat Registered Nurse (RN) di Amerika Serikat. Yang dikeluhkan rekan-rekan kami satu: sistemnya saat ini.

Kami sangat menyadari, MTKI sibuk sekali mengurusi ratusan ribu profesional kesehatan. Jika MTKI butuh tenaga, sekarang ini banyak perawat muda kita yang pintar dan memiliki etos kerja tinggi. Bukti nyata kinerja perawat adalah, hingga saat ini hanya Profesi Keperawatan di negeri ini yang paling banyak prosentasenya yang bekerja di luar negeri. Bahkan perawat Indonesia menyabet predikat sebagai Diaspora Award Winner di Los Angeles, 2012 lalu, pada Kongres Diaspora pertama. Hanya perawat satu-satunya yang mencatat sejarah penghargaan Diaspora, bukan profesi kesehatan lain. Prestasi yang sama diterima oleh mantan Menteri Keuangan, Ibu Dr. Sri Mulyani. Beberapa perawat kita di luar negeri meraih predikat sebagai karyawan terbaik.

Bukankah itu sebuah prestasi profesi keperawatan sebagai catatan bukti bhakti dan kebanggaan profesi terhadap Bangsa Indonesia?

Kalau perawat bisa kerja di BPJS, mestinya bisa pula direkrut untuk menangani MTKI khusus seksi keperawatan. Lebih mudah lagi, bila ada Nursing Counsil, Konsil Keperawatan seperti halnya kedokteran. Dengan adanya Nursing Council beban kerja MTKI jadi berkurang.

Kalau Kedokteran bisa, mengapa Konsil keperawatan yang anggotanya terbanyak di antara profesi kesehatan lain, jadi sulit direalisasikan? Kami percaya, perawat bukan anak tiri dalam jajaran di Kementrian Kesehatan Republik Indonesia ini.

Bapak Kepala MTKI yang kami hormati.

STR itu sangat dibutuhkan saat ini oleh mereka yang bukan hanya yang baru lulus, tetapi juga lulusan lama yang harus memperbaruhinya. Jika Bapak membaca tautan FB kami, betapa menderitanya mereka yang sudah menunggu lebih dari satu tahun hanya karena STR tidak dapat kerja, tidak memperoleh penghasilan. Sementara, kuliah mereka mahal.

Yang terjadi selanjutnya adalah, karena di tempat kerja mewajibkan pemilikan STR, mereka terpaksa hengkang atau keluar dari jalur profesi mulia ini. Ada yang kerja di Bank, jualan jilbab, teller swalayan, supermarket, pabrik, ustadz di panti asuhan, hingga pengangguran. Ada pula yang nekad ke luar negeri, dengan predikat assistant nurse atau technician, karena tidak punya STR. Parahnya, ada yang tidak bakal menyekolahkan anak cucunya ke profesi ini hanya karena STR.

Bapak Kepala MTKI yang kami hormati.

Kami tidak menuntut banyak sebagai warga negara. Kalau Bapak melihat beberapa hari terakhir ini, berbondong-bondong rakyat dari negeri China menjadi pekerja di sebuah proyek PLTU di Bali, kami, sebagai warga negara Indonesia bertanda tanya, jika orang luar negeri bisa dengan mudah bekerja di negeri ini, mengapa kami yang rakyat sendiri jadi sulit? Prosedur perolehan STR mestinya bisa disederhanakan.

Jika diperbolehkan usul, kami berharap:

Pertama, ada sistem manajemen terbuka dari MTKI. MTKI bisa memberikan layanan di Twitter atau FB nya. Mahasiswa keperawatan banyak yang pintar dan ahli di bidang IT ini. Pasti tidak sulit merekrut dan mempekerjakan mereka agar visi misi MTKI untuk mensosialisasikan STR ini lancar. Aplikasinya Online nya seperti beli pulsa. Kalaupun ada Test tulis, biarlah pak, kami ikut test seperti TOEFL, yang ada cabang-cabangnya di kota besar. Jadi, mereka yang ikut test bisa langsung tahu nilainya. MTKI akan hebat bila sertifikatnya dikirim online. Ini akan menghindarkan terjadinya salah ketik. Peserta yang mengetik identisanya sendiri, akan minim kesalahan. Soal dana, toh kami bayar?

Usulan kedua, perbanyak jumlah karyawannya. Gerakkan yang muda dan energetik sebagai pegawai MTKI. Jangan yang sudah senior atau menjelang pensiun seperti saya. Teamnya menyebar, berdasarkan wilayah provinsi, sehingga Bapak memiliki staff khusus per wilayah yang kuat dengan mobilitas tinggi. Selama ini MTKP kami rasakan kurang efektif. Suara tersebut kami dengar dari berbagai provinsi. Lebih bagus lagi, team MTKI menyebar hingga ke kota Kodya atau Kabupaten agar tidak terjadi kesalahan pengiriman. Perlu Bapak ketahui, ada STR yang salah kirim bukan hanya salah provinsi, tetapi juga salah RS.

Ketiga, bekerjasama dengan Dikti, sederhanakan proses Ukomnya. Yang terjadi saat ini seolah-olah STR lebih tinggi nilainya ketimbang ijazah. Mahasiswa sesudah lulus bingung, karena tidak seperti jurusan pendidikan umum. Apalagi orangtua mereka. Sudah lulus, koq tidak boleh kerja? Mereka harus menunggu Ukom kemudian STR tanpa ada batasan waktu yang jelas, baru bisa melamar kerja. Itupun belum tentu diterima. Bukankah ini dirasakan sangat menyulitkan?

Keempat, kami menyadari Team MTKI sangat sibuk. Oleh karenanya, kami sangat merasa terhormat sekiranya sebagian beban kerja MTKI didelegasikan kepada perawat. Bila perlu, berikan otonomi, bentuk Majelis Tenaga Keperawatan Indonesia. Singkatanya sama-sama MTKI Pak. Supaya lebih terkesan dari, oleh dan untuk perawat Indonesia. Sekiranya tolok ukur kedewasaan perawat Indonesia adalah tingkat pendidikan, pada dasarnya kami juga sudah memiliki banyak doktor dan profesor di negeri ini, yang terancam nganggur jika tidak mengantongi STR.

Kelima, kami, perawat Indonesia, ingin menjadi bagian dari solusi negeri ini. Bukan sebaliknya, menambah permasalahan menjadi lebih rumit. Kami rasa Bapak sependapat dalam hal ini.

Saya yakin, generasi seperti saya dan Bapak tidak turut merasakan sengsaranya mereka. Saya kurang tahu apakah profesi Bapak juga sebagai perawat atau tidak. Sejujurnya, saya sudah menikmati kenyamanan dari hasil profesi ini. Apalagi saya besar di luar negeri.

Bapak Kepala MTKI yang kami hormati

Saya pernah menerima perawat muda asal Sumbawa Besar yang digaji Rp 120 ribu/bulan. Di Poncoskusumo Malang, perawat yang menjadi tenaga Sukarelawan sekitar 40 orang, dibayar oleh pemerintah daerah Rp 500 ribu. Itu jika lancar. Puluhan pula saya lihat di Pontianak menunggu magang. Belum lagi di Aceh, Sulawesi Selatan, NTB, NTT hingga Papua. Sedih saya melihatnya.

Bapak Kepala MTKI yang kami hormati.

Kami perawat Indonesia, sesudah tinggal negara yang baru saja merayakan hari kemerdekaan ke 70 tahun ini, jadi tanda tanya: kapan sertifikasi semacam STR ini segera dibenahi? Jika memang STR itu dibuat demi kepentingan kami, mengapa masa depan kami yang harus dikorbankan? Kami percaya, memang bukan itu tujuannya. Sayangnya, itulah persepsi yang terjadi di lapangan.

Akhinya, saya pribadi, Syaifoel Hardy, mohon maaf atas kelancangan Surat terbuka ini bila dirasa kurang sopan. Terimakasih atas kesediaan Bapak membaca surat ini.

Sebagai perawat senior, barangkali saya tidak berkepentingan dengan STR. Saya tidak kerja di RS, klinik atau balai kesehatan yang menyentuh pasien. Hidup saya, alhamdulilllah, sudah mapan. Namun melihat perawat muda tanpa kerjaan di lapangan, saya tidak mau munafik, bahwa turut berduka.

Benar, bahwa saya sangat menyukai profesi keperawatan Indonesia ini agar dengan STR, bisa maju, profesional dan tersertifikasi. Semua pihak setuju, kedudukan perawat kita harus sejajar dengan perawat lain di luar negeri. Namun apalah arti sertifikasi, jika menyisakan ribuan generasi terdidik ini, terlunta-lunta tanpa penghasilan?

Perawat Indonesia ini adalah anak kandung. Kepentingan mereka adalah kepentingan kita bersama. Maka, memudahkan proses perolehan STR, sama halnya memudahkan pencarian nafkah. Dan itu perbuatan sungguh mulia. Sebaliknya, dengan mendapatkan STR, akan menambah beban bangsa dan negara serta seluruh anak-anak perawat di Bumi Pertiwi ini.

Bapak Kepala MTKI yang kami hormati.

Tepat tanggal 17 Agustus kemarin, semua rakyat Indonesia menerima pesan sms singkat dari KEMKOMINFO yang isinya: Selamat HUT ke-70 Kemerdekaan RI. Ayo kerja membangun bangsa! Tetapi kondisi perawat, tanpa STR, tidak dapat kerja dan otomatis tidak bisa membangun bangsa. Tentu saja tidak etis jika saya jawab demikian sms Bapak Menteri ini.

Andai saja diizinkan, sebagai warga negara, saya akan pilih mudah mendapatkan kerja, demi pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, meski hanya lulusan SPK, tanpa sertifikasi di tangan. Inilah urgency nya. Dari pada kuliah tinggi, hasil akhirnya menganggur di lapangan.

Wassalammu'a'laikum warrahmatullahi wabarakaatuh....

Malang, 19 Agustus 2015
SYAIFOEL HARDY

Semoga pihak-pihak terkait mampu menjawab permasalahan Perawat ini. Karena Perawat merupakan garda terdepan dalam pelayanan kesehatan selain Dokter dan Bidan. 

Doha, 20 Agustus 2015

Sugeng Riyadi

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun