Pada tanggal 27 Oktober 1945, berita tentang fatwa dan resolusi jihad NU dimuat di koran Kedaulatan Rakyat. Buktinya dapat Anda cari di Koran Kedaulatan Rakyat Edisi 28 Oktober 1945. Koran Kedaulatan Rakyat berasal dari Jogja. Pada tanggal 28 Oktober 1945, TKR menyerang tentara Inggris secara brutal.
Karena mereka bersamaan dengan gelora arek-arek Suroboyo yang mereka sebut sebagai tawuran massal dengan tentara Inggris. Perlawanan pribumi menggunakan bambu runcing dan satu gerbong senjata yang dikirim melalui kereta api dari Jogja, sedangkan tentara Inggris menggunakan senapan angin yang jauh lebih canggih dari alat yang kita gunakan saat perang waktu itu.
Selama beberapa hari pertempuran antara arek-arek Suroboyo dan Tentara Inggris terjadi. Hingga pada tanggal 10 November 1945 terjadi perang habis-habisan yang mampu mengalahkan Tentara Inggris.
Pada tanggal 10 November 1945 arek-arek Suroboyo dan para pejuang lainnya bertempur melawan tantara Inggris pada waktu itu. Pada peristiwa tersebut juga melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengusir Inggris dari tanah Surabaya.
Akan tetapi sampai sekarang Pemerintah tidak mau mengakui bahwa Tentara mereka terlibat dalam penyerangan tentara Inggris di Surabaya. Padahal berita tentang peristiwa 10 November tersebut jelas-jelas telah dibuat di koran dunia seperti New York Times, Washington Post, dan koran lain-lain.
Fatwa resolusi jihad merupakan cikal bakal meledaknya pertempuran gila pada tanggal 10 November 1945 yang terjadi di Kota Surabaya. Hal ini ditegaskan dengan fatwa KH. Hasyim 'Ashyari bahwa hukumnya fardu 'ain untuk berjihad melawan tentara Inggris (saat pendudukan kota Surabaya) dengan radius 94 KM dari Kota Surabaya.
Artinya pada waktu itu, kota-kota seperti Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Gresik mereka bersama kyai di masing-masing pesantren berjuang bersama santri-santrinya untuk bertempur di Kota Surabaya. Seperti tradisi yang ada di Pesantren bahwa apabila kyai dawuh tentang suatu hal, maka semua santri pasti akan melakukannya. Satu komando satu perintah dengan penuh tekad.
Maka hal inilah yang menyebabkan Belanda menjaga betul adanya seorang kyai, karena menurut Belanda, kyai sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi lapisan masyarakat terutama bagi santri-santrinya. Lihat saja saat penculikan KH. Hasyim 'Ashyari oleh tentara Jepang. Bukan santri meminta kyainya dibebaskan, namun justru santri yang jumlahnya ribuan itu meminta kepada Jepang untuk menahan mereka bersama KH. Hasyim 'Ashyari.
Peristiwa 10 November 1945 terjadi selama 5 hari dengan rincian 4 hari berupa serangan massal atau dalam istilah arek Suroboyo sebagai tawuran massal, sampai meninggalnya komandan perang Inggris A.W.S. Mallaby, sedangkan yang 1 hari adalah puncak pertempuran yang melibatkan banyak orang dengan berbagai latar belakang agama, ras, suku untuk bertempur mempertahankan NKRI.
Fatwa yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Ashyari itu bukan fatwa jihad tentang agama tapi fatwa jihad tentang wilayah tanah air yang ingin direbut oleh Belanda dan Inggris. Peristiwa 1 hari pada tanggal 10 November 1945 ini juga dikenal dengan perobekan bendera Belanda oleh Bung Tomo.
Pada waktu itu juga, sebelum terjadinya peristiwa 10 November, para penjajah (Inggris dan sekutu) telah mendoktrin kepada semua orang bahwa Indonesia adalah negara boneka nya Jepang. Namun dengan adanya perlawanan di Surabaya pada selama 5 hari, maka dunia secara perlahan mengakui bahwa Indonesia bukan negara Boneka nya Jepang. Buktinya adalah terdapat perlawanan dari kaum santri, arek-arek suroboyo, tentara, kyai-kyai.