“Gendruwo itu marah karena mau dipindah, Mbak. Semalam gendruwo itu mengajak teman-temannya datang ke sini. Mereka bikin pesta besar. Seisi rumah penuh keributan. Ada suara-suara gamelan dan tawa. Bahkan pimpinan mereka sempat menampakkan diri. Saya hanya bilang, silahkan berpesta tetapi jangan menganggu. Entah sampai jam berapa, saya tinggal tidur di teras. Paginya semua sudah sepi.” Tutur Mbah Marto panjang lebar.
Aku menggigil dalam diam. Tak bisa kubayangkan wajah penghuni rumah ini saat marah. Pikiranku kalut. Rasanya disekelilingku ada yang mengamati.
Aku melintasi ruang tengah, menyapa teman-teman yang mulai berdatangan. Melihat mereka biasa saja, membuatku lebih tenang. Paling tidak kerjaan teman-teman tidak terganggu.
Sambil menunggu file terbuka, kupejamkan mata. Aku berusaha menata hati. Cerita Mbah Marto masih tergiang ditelinggaku.
Kakiku mencari-cari sandal di bawah meja. Heran, biasanya sandal bisa kuraih dengan mudah. Sudah menjadi kebiasaanku, dikantor selalu mengganti sepatu dengan sandal jepit.
Tubuhku membungkuk, mataku bergerak dalam gelap. TAP. Mataku terpaku pada sosok menyeramkan dengan mata merah besar dan wajah penuh bulu. Persis seperti yang diceritakan Sari beberapa hari yang lalu. Giginya yang besar dan tajam menyeringai tepat didepan wajahku. Seketika aku menjerit ngeri. AARRRRGGGGGG……………………………………………
***
Dua bulan kemudian Pak Surip berhasil membuat perjanjian dengan penghuni lain di kantorku. Setelah bernegosiasi, mereka berjanji tidak akan menempakkan diri lagi dan tidak menganggu orang-orang kantor. Tetapi mereka minta syarat tidak mau dipindah jauh dari kantor. Akhirnya mereka sepakat pindah, tepatnya di pojok bagian timur tak jauh dari pohon jambu ‘rumah lama’ mereka.
Kantorku berangsur tenang kembali. Para penghuni lain telah menepati janji. Tidak sekalipun mereka menampakkan diri dan menganggu kegiatan kantor. Kami beraktivitasa dengan tenang, dan mereka mungkin juga melakukan hal yang sama.*****