Santi mengangguk menyakinkanku. “Kita butuh bantuan, Mbak Ros.”
**
“Sebulan yang lalu pohon di depan kantor ditebang?” tanya Pak Surip, orang pintar yang kami minta membantu memecahkan misteri di kantor.
DEG. Aku dan Santi berpandang-pandangan. Tebakan Pak Surip tepat sekali. Lelaki yang belum terlalu tua ini penampilannya tidak seperti mbah-mbah orang pintar yang aku bayangkan. Tidak ada ikat kepala hitam, rambut panjang, muka seram dan dupa yang biasanya menjadi properti orang-orang pintar. Penampilannya sederhana, mengunakan kaos putih, sarung dan berpeci. Ia hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk berdoa. Tidak ada dupa yang mengebul.
“Iya, Pak. Sebulan yang lalu pohon di depan kantor kami tebang,” jawabku jujur. Kami segaja menebang pohon jambu di depan kantor untuk memperluas tempat parkir. Terkadang kalau ada kegiatan dan mengundang tamu, kami kekurangan tempat parkir.
“Pohon jambu itu sudah ada sejak kantor belum dibangun. Puluhan tahun yang lalu mereka sudah tinggal di pohon itu. Ketika ditebang, mereka marah,” tutur Pak Surip tanpa basa-basi. Matanya yang teduh menatap kami satu persatu.
“Hah?” Santi buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Ia tersadar tidak bisa mengendalikan emosi.
“Maksud Pak Surip. Mereka itu…?” Aku tidak sanggup meneruskan kalimatku. Terbayang dibenakku beberapa makhluk dari dunia lain itu marah saat rumah mereka hilang.
“Ya, Bu. Mereka satu keluarga. Bapak, ibu dan anak. Sebenarnya mereka pindahan dari tempat lain. Ada yang membuangnya. Dan mereka merasa cocok tinggal di pohon jambu itu. Barang-barang kantor yang menghilang memang dipindah. Mereka ingin memperingatkan. Protes karena tidak punya rumah lagi. Terpaksa mereka masuk ke kantor.” Jelas Pak Surip panjang lebar.
Kulitku merinding. Tanganku terasa dingin. Untung saja Mas Jono, suamiku meremas tanganku untuk memompa keberanianku.
“Apakah mereka bisa dipindah, Pak? Agar tidak menganggu lagi.” Kata Mas Jono.