“Kok ngga pernah cerita, Mbah? Sejak kapan?”
“Dua hari setelah pohon jambu ditebang, ada suara-suara aneh di rumah. Selain perobotan terdengar digeser juga ada suara tertawa. Hampir setiap malam muncul. Hari berikutnya sesekali wujud gendruwo terlihat sekilas. Saya hanya bilang ke mereka agar tidak menganggu. Karena alam mereka dengan kita berbeda. Biar hidup sendiri-sendiri asal tidak saling menganggu.”
“Mbah Marto nggak takut? Kok nggak cerita ke kami?” protesku sambil memandang wajah letih Mbah Marto. Meskipun usianya sudah memasuki angka enampuluh tahun tetapi tubuhnya masih terlihat kuat. Tak heran, setiap hari mengayuh becak.
“Kalau saya cerita nanti Mbak Ros dan yang lain takut ke kantor. Makanya saya diam saja,” katanya membela diri.
Aku menghela nafas panjang. Tanpa minta persetujuan Santi, aku menghubungi Pak Surip.
***
Pak Surip memandang pohon jambu tanpa berkedip. Matanya menatap serius tetapi penuh wibawa. Mulutnya komat kamit.
Kami duduk di ruang tamu memandang Pak Surip dari kaca jendela dengan rasa was-was. Entah apa yang terjadi. Apakah gendruwo itu sulit diajak kompromi?
Siang ini Pak Surip datang setelah aku menghubunginya. Sejak datang, Pak Surip lebih banyak diam. Tetapi matanya awas dan kelihatan siaga.
Sekitar sepuluh menit menyendiri, Pak Surip menghampiri kami dengan peluh bercucuran. Tenaganya seperti terkuras. Ia terlihat lelah.
“Mereka marah karena tempat tinggalnya hilang. Jadi mereka pindah ke dalam rumah. Persis seperti dugaan saya, karena sudah lama disini, mereka tidak mau pergi. “ kata Pak Surip setelah meneguk air putih yang dia minta.