Seminggu berikutnya sekretaris kantor, Latri, panik saat buku catatan telepon semua jaringan tidak ketahuan dimana rimbanya. Buku itu tiba-tiba ada diatas mejanya keesokan harinya. Tak ada yang mengaku mengambil atau memindahkan buku itu.
Dan empat hari lalu, tiba-tiba aku sendiri kehilangan file proposal yang mestinya bisa aku kirim hari ini. Sekarang? Keluhku dalam hati. Benar-benar kejadian aneh.
“Coba dicari dulu, Wik. Mungkin terselip,” saranku berusaha tenang. Aku tidak mungkin memperlihatkan kepanikan di depan stafku. Sebagai direktur, aku harus menjaga ketenangan seluruh staf dan memastikan semua baik-baik saja.
Tiwik mengelengkan kepala. Kali ini setitik air bening bergulir di sudut matanya. Ia terduduk lemas.
Aku bisa memaklumi kekecewaan dan keresahannya. Tiwik pasti sangat panik dan stress karena dokumen-dokumen itu sangat penting. Kalau sampai semuanya hilang, pasti Tiwik akan kesulitan untuk mencari gantinya. Bagaimana mungkin mencari kwitansi, nota-nota, bukti pembayaran selama setahun yang hilang? Butuh waktu lama dan juga sulit untuk mencarinya.
Kutepuk bahu Tiwik. Aku merasa prihatin melihatnya.
“Wik, sudah hampir jam lima. Sebaiknya kamu pulang dulu. Besok pagi kita cari lagi, ya. Kalau panik seperti ini kemungkinan dokumennya juga nggak ketemu. Siapa tahu besok saat kita mulai tenang, bisa menemukan dokumen itu.” Kataku menghiburnya.
“Tapi, Mbak?” protes Tiwik.
“Nggak apa-apa. Besok kita semua akan membantu mencarinya kembali.” kataku tegas.
Tiwik mengangguk pasrah. Ia memberesi meja kerjanya.