[caption caption="Pedagang bunga di Pasar Kembang mengelar dagangan , foto : Suci Harjono"][/caption]“Pokoknya kalau cari kembang (bunga) ya di Pasar Kembang. Sudah pada tahu, Mbak,” tutur Mbah Dar, 68 tahun, salah seorang pedagang kembang (bunga) aneka warna atau lebih dikenal dengan kembang telon. Ia bersama tak kurang dari sepuluh pedagang perempuan dengan berbagai usia saban hari mengelar dagangan bunga di Pasar Kembang, tepatnya di seberang Pasar Kembang.
Bertahun-tahun yang lalu, Mbah Dar, mengelar dagangan tepat di areal Pasar Kembang, tetapi karena semakin banyak pedagang, ia memilih bergeser, mengelar dagangan di sebrang jalan pasar. “Kathah sing dagang sekar, lha kulo terus pindah mriki mawon ,”(banyak yang berdagang bunga, saya terus pindah ke sini saja),” tambahnya sambil memilah bunga mawar yang sebagian rontok dari tangkainya.
[caption caption="Mbah Dar, biasa begadang menunggu dagangan bersama pedagang lainnya, foto : Suci Harjono"]
Bagi warga Solo dan kabupaten sekitarnya, saat membutuhkan bunga dalam jumlah besar, misalnya ada keluarga yang meninggal dunia, pastilah mereka akan menuju ke Pasar Kembang.
[caption caption="foto : Suci Harjono"]
Keberadaan pasar yang dibangun sejak tahun 1967 ini, tidak terlepas dari budaya warga Solo (Jawa) yang mempunyai bermacam-macam kebiasaan yang membutuhkan bunga sebagai pelengkap tradisi turun temurun. Tradisi yang dilakukan antara lain nyadran yaitu ziarah kubur yang biasa dilakukan menjelang bulan puasa. Tradisi untuk melengkapi salah satu prosesi sebelum menikah dengan siraman (mandi air yang dicampur bunga beraneka macam). Ada lagi saat menjadi pengantin membutuhkan rangkaian bunga melati bagi mempelai laki dan perempuan. Kemudian ritual khusus menjelang bulan–bulan tertentu seperti suro, jamasan pusaka dll.
[caption caption="Uborampe untuk kematian dan ritual adat lainnya tersedia di sini, foto : Suci Harjono"]
[caption caption="buket bunga cantik dan segar juga tersedia , foto : Suci Harjono"]
Orang meninggal, menjadi rejeki bagi pedagang
Sebagian pedagang berjualan dari jam 07.00 sampai malam hari, tetapi ada yang berjualan dari pagi bahkan terkadang sampai dini hari. Di hari-hari tertentu misalnya saat nyadran atau imlek, sampai dini hari pun banyak orang yang mencari bunga sehingga pedagang selalu mengelar dagangan.
Saat ada yang meninggal, saat itupulalah rejeki datang menghampiri. Biasanya keluarga yang meninggal akan membutuhkan banyak bunga sehingga pedagang merasakan kelimpahan berkah. Karena untuk hari biasa, dagangan laku biasa saja. Sementara saat ada yang meninggal dan di bulan-bulan khusus barulah pembeli mengantri.
“Pulang jam berapa Mbah?” tanya saya sambil merasakan keharuman aroma bunga mawar yang mengelitik hidung.
“Ya nggak pulang Mbak. Kalau ramai ya buka sampai malam. Siapa tahu ada yang butuh bunga dini hari”
"Memangnya ada yang butuh bunga saat pagi?"
"Ada. kalau ada yang meninggal, pagi-pagi sudah pada beli."
“Istirahatnya dimana?”
“Tuh di depan bengkel. Bareng-bareng sama pedagang lainnya. Sambil nunggu dagangan,” ujarnya sambil terkekeh.
Mbah Dar menuturkan sudah biasa berdagang tanpa mengenal waktu, hanya sesekali pulang ke rumah. Ia mengaku sudah berjualan sejak berumur 21 tahun, artinya lebih dari separo usianya digunakan untuk berdagang bunga.
Saat dagangan sepi, ia akan menjemput bola, mendatangi para pelanggannya untuk menjual bunga. Di sekitar Kampung Singosaren dan Mangkunegaran ia sudah mempunyai pelanggan tetap yang bertahun-tahun membeli bunganya.
Biasa menerima pesanan bunga ronce
Mbah Rejo, usianya menjelang 70 tahun, berasal dari Pengging Boyolali menuturkan bahwa selain menjual bunga telon, ia biasa menerima pesanan bunga ronce, bunga melati yang biasa digunakan untuk pengantin perempuan dan laki-laki. Ia selalu meronce/merangkai untaian bunga melati di saat menunggu pembeli datang. Dagangannya tidak banyak, tetapi ia tetap senang karena sudah ada pelanggan.
Untuk bunga ronce yang khusus untuk pengantin perempuan yang diletakkan di rambut dijual seharga Rp 30.000. Sementara untuk bunga melati yang disampirkan di dada pengantin perempuan dijual seharga Rp 50.000. Jika membutuhkan bunga sepasang (untuk pengantin laki dan perempuan) di jual dengan harga Rp 75.000.
[caption caption="Mbah Rejo meronce kembang melati sambil menunggu pembeli datang, foto: Suci Harjono"]
Meskipun tidak mendapatkan laba cukup banyak, ia mengaku saat modal sebesar Rp 100.000, jika dagangan habis bisa mendapatkan Rp 150.000, tetapi jika sedang sepi, ia malah tombok (rugi). “Sudah biasa Mbak, orang dagang kadangkala sepi kadang ramai. Alhamdulillah disyukuri saja,” ujarnya sambil mengelap peluh dengan tanganya yang renta.
Meskipun sudah berusia lanjut dan ketajaman matanya berkurang tetapi Mbah Rejo terlihat tetap gesit dan cepat saat meronce bunga melati. Satu persatu jarum yang dibubuhi benang panjang semakin panjang dipenuhi rangkaian bunga melati.
“Mbah, tumbas mbang mlati, sedoso dados kalih njih,” kata seorang pembeli. (Mbah, beli bunga melati, sepuluh ribu dijadikan dua bungkus)
“Nggih, Nak,” jawab Mbah Rejo sambil membungkus bunga melati dengan cekatan. Sebaris senyum tersungging di bibirnya saat menerima uang sepuluh ribu.
"Niki rejeki, Nak," katanya berbinar-binar (Ini Rejeki Nak)
_Solo, 3 Maret 2016_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H