“Betul itu, pak. Sesaat rame diberitakan penyidikan. Usut punya usut. Ee… tiba-tiba, lenyap dengan sendirinya.” Tegasku.
“Terus, berita menarik yang lain apa, pak?”
“Ada, mas.”
“Salah satu mahasiswa yang ikut demo kemarin meninggal akibat bentrok dengan petugas keamanan dan terkena peluru nyasar…” baca Pak Abidin dari koran yang ia pegang.
“Terus, ini mas, pemerintah belum bertindak apa-apa meski warganya yang bekerja di Arab terbukti dianiaya majikannya hingga tewas. Belum lagi masalah bangunan-bangunan yang menjadi fasilitas umum, yang pada ambruk, banyak makan korban jiwa yang faktanya baru beberapa tahun serah terima. Padahal, setahu saya setiap nominal yang tertera dalam plakat bukti serahterima tertulis anggaran sesuai standart kebutuhan bangunan itu.”
Terbesit pikirankan, teringat beberapa minggu yang lalu ada jembatan putus disaat kendaraan banyak melintas. Mungkin jembatan itu yang dimaksud pak Abidin. Ngeri, memang. Tak ingin aku bicara soal itu. Lebih baik, aku bicara yang di sini saja.
“Aku sendiri juga heran, Pak.” Kataku, “Bapak tahu kan sekolahan di RT sebelah itu. Masak, gedung baru yang ada di depan itu sudah di kosongkan, karena dindingnya sudah retak hingga atas. Dan lantainya juga sudah terbelah. Padalah gedung itu belum ada 3 tahun lho, pak. Sedangkan gedung pertama beridirnya sekolahan itu, yang sekarang dijadikan kantor masih kokoh.”
“E… mbuh, mas. Kalau masalah bangunan itu, entah arsiteknya yang abal-abal sehingga tak tahu jenis tanahnya atau matrialnya dimakan sama pemborongnya, saya juga tidak tahu.”
“Maktrial kok dimakan ki lho, pak?” kataku memotong penjelasannya.
“Lha sekarang kalau jatah semen 3 sak, hanya diberi 1,5 sak, trus yang 1,5 sak lagi kemana kalau tidak dimakan, mas? Hahaha….,” Jelasnya sambil tertawa.
“Sudah, mas. Aku tak nganter koran dulu. Kasihan nanti pelanggan kalau kesiangan. Pelanggan bisa marah, nanti. Hehe…, rokoknya satu ya, mas. Sambil jalan enak ni kayaknya kalau ngerokok. Hehe…” pamitnya sambil senyam-senyum minta rokok.